Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S (Anggota Grup Revowriter)
Tidak terasa, aksi besar 212 yang fenomenal karena menggerakan seluruh elemen umat Islam di Indonesia sudah setahun berlalu. Namun, energinya masih dapat kita rasakan hingga kini. Maka reuninya pun kemarin disambut antusias jutaan umat Islam. Benarlah adanya jika aksi 212 merupakan potret indah ukhuwah islamiyah tanpa tersekat beda harokah, partai, atau organisasi.
Semuanya beriringan dalam langkah, bersinergi dalam nafas perjuangan. Bahkan rekatnya ukhuwah islamiyah amat terasa tatkala kaum muslimin berlomba-lomba memberikan kontribusinya pada aksi tersebut, baik harta maupun tenaga. Banyak kisah inspiratif bertebaran di media sosial kala itu.
Ada banyak kaum ibu yang membagi-bagikan nasi bungkus dan aneka makanan serta minuman ringan secara gratis untuk para peserta aksi. Ada tukang jualan yang membagikan barang dagangannya secara cuma-cuma. Ada juga sekelompok kaum muslimin yang membagikan sajadah, sarung, hingga jas hujan. Bahkan ada juga yang ikhlas menjadi tim kebersihan. Mereka memungut setiap sampah yang terserak hingga tak ada sedikitpun yang tertinggal. Masya Allah....betapa indahnya ukhuwah yang terpotret.
Namun, tentu kita tak ingin aksi 212 hanya euforia belaka. Aksi 212 harus memiliki kejelasan arah perjuangan, bukan sekadar semangat membara namun kosong dari visi. Jika kita menilik lagi sebab melecutnya aksi 212, yakni karena semangat umat Islam dalam membela kesucian Al-Quran yang dinistakan kala itu. Hingga akhirnya lahirlah seruan: tolak pemimpin kafir. Tuntutan untuk menghukum tegas penista Al-Quran lantang terdengar, hingga akhirnya sang penista agama dijatuhkan vonis penjara 2 tahun dan gagal bertarung menjadi DKI 1. Sungguh tepat ungkapan, sudah jatuh tertimpa tangga, dialamatkan kepadanya. Umat Islam bergembira sebab tuntutannya tercapai. Namun apakah itu menunjukkan bahwa umat Islam sudah menang? Tunggu dulu.
Faktanya, sejak mendekamnya sang penista Al-Quran di balik jeruji, umat Islam semakin nyata didzalimi. Mulai dari kriminalisasi ulama, monsteriasi terhadap ajaran Islam: Khilafah, kriminalisasi terhadap bendera tauhid liwa dan royyah, pembubaran ormas Islam tanpa peradilan menggunakan Perppu no. 2 tahun 2017, hingga berbagai upaya persekusi terhadap para pengemban dakwah yang menyerukan khilafah. Sunggah fakta demikian semestinya membuat umat memahami bahwa sedang ada upaya sistematis untuk meredam kebangkitan Islam.
Tak hanya itu, ada juga upaya menciptakan islamphobia di tengah-tengah umat Islam sendiri. Sehingga umat takut terhadap ajaran agamanya sendiri. Sesama muslim saling menuding. Pendikotomian antara Islam moderat dan Islam radikal yang sengaja diciptakan barat adalah contoh penanaman islamphobia tersebut.
Islam moderat adalah Islam yang toleran terhadap semua paham yang berasal dari barat: liberalisme, sekulerisme, hedonisme, dan kapitalisme. Sementara Islam radikal dialamatkan kepada mereka yang vokal menyerukan syariat Islam kaffah dan memperjuangkan khilafah. Hal tersebut telah lama tertuang dalam dokumen Rand coorporation bentukan gedung putih. Maka Indonesia yang senantiasa berkiblat kepada barat, tentu mengikuti pula arahannya.
Sungguh, segala kedzaliman yang menimpa umat Islam hari ini adalah musibah sekaligus ujian bagi kita. Di tengah kedzaliman dan ketidakadilan telah sangat nyata dipertontonkan penguasa, Akankah kita bersatu untuk melawan atau cukup diam menyaksikan?
Padahal baginda Rasulullah saw telah bersabda bahwa umat Islam ibarat satu tubuh. Hal itu menunjukkan bahwa umat Islam selayaknya satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hanya akidah Islamiyahlah yang menjadi pengikat di antara kita dan dengan itu pula lah kita menjadi kuat. Maka sudah saatnya umat Islam merapatkan barisan demi terciptanya sebuah kekutan kaum muslimin yang tak terkalahkan.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (TQS.As-Saff: 4)
Bersatunya umat Islam bukan sekadar berbekal semangat sesaat saja yang mudah menguap lalu hilang tak berbekas. Namun persatuan yang hakiki adalah persatuan yang diikat oleh kesamaan pemikiran (fikrah) dan metode (thoriqoh) perjuangan. Dengan itulah kelak akan terpancar energi kebangkitan dan tercipta geliat perjuangan untuk menggapai kemenangan.Menurut KBBI, menang artinya dapat mengalahkan (musuh,lawan, saingan).
Maka dapat dipastikan bahwa umat Islam belum memperoleh kememangan, sebab sejatinya musuh umat masih bercokol dinegeri ini. Ya, ideologi kapitalisme-sekulierisme-liberalisme masih merajai seluruh sendi kehidupan manusia. Sebaliknya aturan Islam dipinggirkan, kecuali sekadar konsumsi individu saja.
Adapun kemenangan hakiki tercipta manakala umat Islam disatukan di bawah satu kepemimpinan umum yang dengannya mereka hidup dalam aturan Islam secara totalitas. Itulah yang semestinya menjadi ruh dalam aksi 212. Agar bersatunya umat dari berbagai penjuru negeri tak sekadar euforia sesaat, melainkan mampu menancapkan tombak perjuangan menuju kemenangan yang hakiki. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.S. An Nur: 55). [syahid/voa-islam.com]