View Full Version
Sabtu, 24 Aug 2019

Penata Kata Masyarakat Dunia

 

Oleh:

Faris Ibrahim

Mahasiswa jurusan Aqidah- Filsafat Universitas al- Azhar Kairo

SEORANG buruh dari Jerman dapat kesempatan mengadu nasib di Siberia (baca: pertempuran Moskwa). Ia khawatir surat- surat yang dikirimkannnya kepada teman-temannya disadap oleh pemerintah setempat. Mengetahui hal itu, akhirnya ia coba terka jalan keluarnya dengan berusaha mengakalinya.

Berkumpul di suatu tempat, si buruh dan teman- temannya akhirnya bersepakat untuk menyusun suatu siasat. "Ayo kita buat sebuah kode,” dedas si buruh, “kalau surat yang kalian terima saya tulis dengan tinta berwarna biru tandanya suratnya benar, kalau tintanya merah, tandanya suratnya palsu."

Arkian, teman- temannya akhirnya menerima surat yang ditulisnya untuk pertama kali. Kebetulan surat yang ditulisnya itu tintanya berwarna biru, bunyinya: "segalanya menyenangkan di sini: toko-tokonya lengkap, kulinernya aneka cita rasa, apartemennya luas dilengkapi penghangat, wanita- wanitanya jelita. Semuanya bagus, namun sayang satu yang saya tidak temukan di sini: tinta merah. "

Lelucon ini sejatinya Slavoj Žižek tulis untuk menggambar kondisi dunia yang dikuasai oleh sistem kapitalis. Utamanya untuk menyentil sejawatnya yang sosialis untuk bangkit melawan. Dunia memang sedang tidak baik- baik saja di bawah tatanan kapitalisme. Namun karena 'tinta merah' memang sengaja dibuat tidak tersedia, aib- aib kapitalisme menguap begitu saja‒ lenyap.

Aib- aib itu kedap tersiar di media. Kapitalisme mengatur cara manusia berkata- kata. Penulis- penulis kritis tanpa sadar dituntun untuk menjabarkan sisi- sisi yang mesti dituliskan dengan 'tinta biru' saja. Akhirnya manusia dininabobokan oleh rasa merdeka yang palsu. Manusia merasa bebas memang karena tak kuasa menemukan kata- kata untuk mengungkapkan ketidakbebasannya.

Semua yang berkuasa memang belum berasa digdaya kalau belum menguasai kata- kata. Apalah artinya pemenang perang kalau sekadar mengeruk kekayaan alam lalu pulang. Penjajah mesti mengucap salam perpisahan yang membekas di hati sebelum pergi. Memang tidaklah lazim, namun begitulah penjahat‒ selalu meninggalkan jejak sepertimana digubah di cerita- cerita misteri.

Jejak yang sengaja dicetak itu boleh jadi adalah kata- kata yang dimuarakan di pita suara. Penjajah memang sentiasa berusaha sekuat tenaga menata kata- katanya agar selaras dengan kata korbannya. Sepertimana lagu Happy Birthday to You yang dinyanyikan oleh masyarakat dunia beragam bahasa dengan nada yang sama. Begitulah cara Patty Hill dan Mildred J. Hill menempatkan Amerika sebagai penguasa kata- kata di dunia.  

Masyarakat yang menyaru lagu Happy Birthday to You pasti pernah (atau bahkan masih)  melewati masa- masa kelam bersama Amerika. Di setiap perhelatan ulang tahun manusia di seluruh dunia selalu ada paman Sam yang bertepuk tangan di kursi paling belakang. Sambil menyungging senyum kecut, Sam terlihat begitu senang mendengar kata- katanya abadi memperdayai mereka yang bertambah umurnya setiap tahunnya.

Para pemenang perang adalah konduktor di orkestra kata- kata masyarakat dunia. Mereka memandu paduan suaranya untuk melengkingkan kata- kata yang bernada hina. Gambaran itu mengemuka dengan jelas sebagaimana digubah oleh Pramoedya Ananta Toer di Bumi Manusia-nya; ketika Tirto Adhi Soerjo dilecehkan dengan sematan Minke yang merupakan plesetan dari satu jenis binatang.

Penjajah memang terbiasa menyemai kata hina. Saat Mālik bin Nabī bersambang ke sebuah taman di Shanghai‒ tergantung sebuah papan di gerbangnya yang bertuliskan: “tidak boleh masuk ke taman ini: anjing- anjing, dan orang- orang Cina.” Pemerintah Cina sengaja membiarkan papan itu menggelantung begitu saja sebagaimana mestinya‒ sebagai saksi bisu betapa buruknya tutur kata para penjajah yang menyamaratakan anjing dengan bangsanya.   

Kata memang punya kuasa, oleh sebab itu penjajah berusaha mengotak- ngatik kata jajahannya. Tujuannya seperti yang Žižek sampaikan; agar jajahan kehilangan 'tinta merah' untuk menggelorakan pemberontakannya. Kata- kata mereka jadi tidak punya makna di dunia nyata. Kata Malik bin Nabi: “setiap kata yang tidak mengandung embrio vitalitas tertentu hanyalah omong kosong.. yang terkubur di suatu kuburan bernama kamus”

Kata- kata manusia merdeka akhirnya kehilangan kekuatannya. Kata- kata mereka tidaklah menggerakan trinitas sosial yang jadi mesin setiap peradaban. Trinitas itu adalah: manusia (man), pikiran (idea), dan materi (thing). Ketika imam bilang: “lurus dan rapatkan shaf-nya,” bapak- bapak patuh bergerak penuh kesadaran. Sayangnya kesadaran itu tidaklah tercelup ke dalam posisi mobil- mobil mereka di luar masjid‒ yang semraut tidak karuan menghambat jalan.   

Di zaman di mana kata- kata dikuasai oleh pemenang perang, sudah selayaknya setiap persona di dunia bersandar pada kata- kata yang disucikannya. Kata- kata pemenang perang penuh kepalsuan. kata- kata suci adalah satu- satunya yang luhur abadi menjamin kebebasan. Maka dari itu persona- persona Islam harus berpulang pada “kalimatullāhi hiyal ulyā. Dengan kata- kata itulah jaminan kebebasan mereka bisa ternyatakan.

Alih- alih harus meng-islamkan manusia, hari ini persona Islam juga dituahkan untuk meng-islamkan kata- kata. Semangat itulah yang digelorakan Syed Naquib al- Attas menceritakan dakwah Islam di masa- masa permulaannya. Islamisasi bahasa adalah keniscayaan yang mesti terulang di masa kini, kata al- Attas:

“Bahasa pertama yang mengalami Islamisasi adalah bahasa Arab itu sendiri. Di mana bahasa Arab setelah turunnya al- Qur’an menjadi bahasa Arab “baru” dan tersempurnakan, yang memuat konsep- konsep dasar Islam, yang tidak berubah dan dipengaruhi perubahan sosial.”  

Kata adalah dutanya pemikiran. Para penjajah mewariskan kata pada jajahan agar pemikirannya tetap tinggal walaupun tank- tank mereka telah angkat kaki pergi. Maka dari itu, warisan kata yang mereka tinggalkan haruslah disucikan. Hanya dengan cara itulah persona- persona Islam dapat menggariskan 'tinta- tinta merah'-nya untuk dapat bangkit melawan ketidakadilan yang ditelurkan oleh mereka para penguasa kata- kata.

Sampai tiba waktunya kata- kata Islam kembali berkuasa, saat itulah pemenang perang akan menyadari usahanya ternyata sia. Kata- kata yang mereka paksakan lekat di pita- pita suara pemuda yang berpandangan alam Islam (worldview of Islam) hanya akan membentur kehampaan. Semua kata- kata manusia yang beredar di muka bumi pada akhirnya hanyalah nisbi. Semesta kata manusia akan berbondong- bondong tunduk pada kata- kata suci yang dijanjikan menang.

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang- orang musyrik membencinya.” (As- Shaf: 9)

Allāhu A’lam.*


latestnews

View Full Version