View Full Version
Sabtu, 24 Aug 2019

Paradoks Keimanan

NKRI bersyariah mendapat respon dari berbagai kalangan. Misalnya Menhan menyebutkan bahwa syariah Islam sudah tertuang dalam sila pertama Pancasila. Hampir senada Gus Solah mengatakan, “Tidak ada istilah NKRI bersyariah bukan berarti kita anti syariah Islam. Ditataran UUD tidak ada bersyariah tapi tataran UU boleh". Adapun Haikal Hasan menjelaskan arti NKRI bersyariah yang dimaksudkan adalah tetap taat pada Allah SWT dengan tetap menjadi bangsa Indonesia. Demikian sebagaimana dilansir www.republika.co.id, 12/8/2019.

Apabila ditelisik lebih dalam, betul, sila 1 ketuhanan yang Maha Esa sama dengan konsep tuhan dalam Islam. Qul huwallahu ahad. Katakanlah Dia Allah Yang Esa. Konsep keesaan Tuhan ini wajib di-imana oleh umat Islam. bukan semata mengimana keesaan Allah SWT akan tetapi juga ke seluruhan asma wa sifat yang telah Allah SWT tetapkan pada diriNya. Ada 99 asma Allah SWT.

Al khaliq (Yang Maha Menciptakan) artinya seorang muslim harus meyakini bahwa alam semesta beserta seluruh isinya ini adalah ciptaan Allah SWT. Al ‘Adl (Yang Maha Adil). Atas kekuasaan Allah SWT manusia memiliki garis kehidupan yang tidak sama. Memiliki daya dan kemampuan yang berbeda. Menerima ujian dan kenikmatan yang tidak sama. Takdir kehidupan yang berlainan. Inilah keadilan Allah SWT yang harus manusia imani. Sebagai bukti Kuasanya Allah SWT.

Dan Allah SWT Al Hakim (Maha Menetapkan Hukum). Hukum-hukum Allah SWT terfirmankan dalam kitabullah. AlQuran Al Kariim. Dan hukum-hukum Allah SWT ini harus diimani oleh umat Islam. Bagaimana ia dikatakan mengimani Al Quran sedang menolak syariah -hukum islam- yang ada di dalamnya? Bukankah Sebagaimana definisi iman dalam pemahaman ahlu sunnah wal jamaah, iman adalah diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan?.

Bila diri kita menyakini Allah SWT itu esa, namun kita menerapkan aturan yang melanggar syariah Allah SWT itu artinya tidak iman dengan asma Allah SWT al Hakim. Meyakini Allah SWT itu esa, namun menyebut harta yang diperoleh adalah hasil usahanya sendiri berarti tidak mengimani Allah SWT Ar Razaq. Mengimanai Allah SWT itu esa, namun berbuat dzalim terhadap rakyatnya maka ia tidak mengamalkan keadilan yang telah Allah SWT perintahkan. Mengimani Allah SWT esa, namun membenci kalimat tauhid baik berupa bendera tauhid atau dalam rupa kaligrafi dinding atau lainnya, maka dipertanyakan macam apa imannya kepada ketauhidan Allah SWT?

Jadi, akan ada banyak paradoks saat umat Islam hidup dalam sistem sekuleris-kapitalis saat ini. Tuntunan Agama akan dibenturkan dengan realitas. Semisal kemajemukan, kebhinekaan, keragamaan dan lain-lain. Padahal plural itu sunnatullah. Tidak ada sangkut pautnya dengan kewajiban seorang muslim untuk membuktikan imannya kepada Allah SWT. Dengan ketaatan yang kaafah. Menerapkan hukum-hukum Allah SWT.

Dapat ditarik benang, bagi seorang muslim, tidak cukup dengan mengatakan aku beriman kepada Allah SWT yang Esa. Kemudian meninggalkan asma Allah SWT yang lainnya. Iman harus dibuktikan. Ditunjukkan kepada manusia. bahwa Islam sebagai agama penutup dari seluruh agama samawi. Islam membawa risalah sempurna bagi manusia. Umat Islam tidak seharusnya malah tertekan dengan arus ide sekuler. Sejarah sudah memberi bukti bahwa Islam membawa baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Walau ada masa-masa penyimpangan penerapan Islam.

Demokrasi-kapitelisme juga telah mengukir sejarah. Dari sejak runtuhnya kekhilafahan Islam 1924 M hingga sekarang adalah goresan sejarah yang ditulis oleh sistem kapitalisme. Dan kini, kembali kepada umat Islam. Menunjukkan kebenaran akan firman Allah SWT atau tetap berada dibawah payung kapitalisme. Yang kenyataannya tidak membawa baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Bila demikian, terapkan syariah Islam, why not? Wallahua’lam

Puji Astutik

Guru Diniyah tinggal di Trenggalek Jawa Timur


latestnews

View Full Version