View Full Version
Senin, 29 Jun 2020

Pendidikan Gratis dan Berkualitas Mungkinkah?

TAGAR #AmarahBrawijaya (Aliansi Mahasiswa Resah Brawijaya) sempat ramai diperbincangkan di twitter beberapa waktu lalu. Munculnya tagar ini ditengarai sebagai bentuk kekesalan mahasiswa kepada pihak kampus lantaran biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus tetap dibayar penuh sementara selama kuliah daring tak ada fasilitas kampus yang digunakan.

Para mahasiswa yang tergabung dalam Amarah Brawijaya juga menyuarakan keresahannya dengan melakukan aksi demo di depan kampus mereka yang diikuti oleh mahasiswa sarjana maupun pasca sarjana. Selain karena faktor tak ada fasilitas kampus yang digunakan, faktor ekonomi juga menjadi alasan demo tersebut. Hal ini disampaikan oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FIA UB.

“Kita sadar di masa pandemi ini semua pasti terdampak. Bahkan ada orang tua mahasiwa juga yang mengalami Putus Hubungan Kerja (PHK). Hasil riset kami ada di atas 50-100 yang di-PHK bedasarkan survei kami. Kami sadar kami ini masih beban orang tua, bukan kami yang egois tapi saat ini kami mengerti orang tua kami seperti apa” (RADARMALANG, 18/06/20).

Aksi demo karena alasan serupa juga dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa UIN Banten. Tak hanya meminta keringanan perihal UKT, para mahasiswa juga menuntut penggratisan UKT mahasiswa semester ganjil tahun ajaran 2020/2021 tanpa syarat serta meminta subsidi kuota internet selama perkuliahan online (BantenNews.co.id, 22/06/20).

Tak cukup melakukan aksi di kampus, bahkan massa mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi di Kemendikbud. Mereka menuntut adanya audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi yakni meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50% (detiknews, 22/06/20).

Menanggapi hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menganggarkan Rp 1 triliun untuk program dana bantuan uang kuliah tunggal. Penerima dana bantuan UKT akan diutamakan dari mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) yang memenuhi beberapa kriteria diantaranya: pertama, calon penerima harus dipastikan orangtua mengalami kendala finansial sehingga tak mampu membayar UKT. Kedua, penerima dana bantuan UKT juga bukan mahasiswa tidak sedang dibiayai oleh program KIP kuliah atau beasiswa lainnya. ketiga, dana bantuan UKT diperuntukkan mahasiswa PTS dan PTN yang sedang menjalankan semester 3, 5 dan 7 pada tahun 2020 (KOMPAS.com, 21/06/20).

Meski akhirnya negara mengabulkan tuntutan mahasiswa, namun kesan lambat dalam merespon masalah ini kental terasa. Betapa tidak, kesulitan membayar uang kuliah yang dirasakan mahasiswa baru mendapat respon ketika kritik keras dilayangkan kepada Pemerintah. Lebih-lebih setelah banyak mahasiswa dari berbagai universitas melakukan aksi turun ke jalan menyuarakan hal serupa yakni meminta subsidi uang kuliah. Bahkan diantaranya meminta gratis selama pandemi belum berakhir. Di sisi lain, Mahasiswa pun belum bisa bernafas lega meski tuntutan mereka dipenuhi. Sebab, anggaran 1 triliun hanya akan diberikan kepada mahasiswa yang memenuhi kriteria sebagaimana pembahasan di atas. Artinya, mahasiswa yang tak memenuhi salah satu dari kriteria tersebut dipastikan tak mendapat bantuan, misalnya mahasiswa yang telah mendapat beasiswa sebelumnya. Padahal dalam faktanya, beasiswa yang diperoleh mahasiswa tak selalu bisa cair tepat waktu. Akibatnya, mahasiswa terpaksa mencari uang talangan untuk membayar biaya kuliah. Lantas dalam kondisi sulit seperti hari ini, dari mana talangan bisa diperoleh?

Pendidikan dalam rangka mencerdaskan generasi harusnya bisa dinikmati oleh seluruh anak negeri tanpa perlu direpotkan perihal biaya. Sebab mereka adalah aset berharga yang kelak akan mewarisi negeri ini. Tentu butuh sumberdaya manusia yang mumpuni untuk mengelola negara sebesar Indonesia. Jika biaya menjadi penghambat untuk terwujudnya generasi yang demikian, bagaimana nasib Indonesia di masa mendatang? Oleh karenanya, pendidikan harusnya bisa dirasakan secara gratis tanpa disertai syarat tertentu, bukan pula diberikan ketika rakyat sedang ditimpa kesulitan lantas setelahnya dipungut biaya kembali. Tentu tidak demikian, hal ini mengingat pentingnya pendidikan dalam membangun negara yang besar. Mari sejenak bernostalgia dengan pendidikan era kejayaan Islam. Bagaimana output pendidikan kala itu dapat mengantarkan sebuah negara menjadi adidaya yang maju bukan hanya dari segi bangunan fisik namun dari segi kualitas pemikiran dan moral.

Siapa tak kenal negara Spanyol? Negara yang pernah menjadi pusat peradaban dunia di masa kekhilafahan umayyah dan abbasiyyah. Apa yang menjadi istimewa dari negara ini? Disaat negara eropa lainnya masih dalam kondisi gelap gulita, justru Spanyol menjadi negara paling maju. Memiliki bangunan masjid yang jumlahnya mencapai 1.600, pemandian umum sebanyak 900, dan lebih dari 80 ribu toko. Sementara itu kekayaan intelektual terlihat dari banyaknya karya tulis yang dihasilkan. Diantaranya, Perpustakaan Cordova yang memiliki koleksi buku tak kurang dari 600.000 jilid, perpustakaan Al Hakim yang memiliki koleksi sebanyak 720.000 jilid buku dan perpustakaan Darul Hikmah 2.000.000 jilid. Para ilmuwan sebagai output pendidikan di masa itu sangat berperan penting bagi kemajuan Spanyol. Al-Biruni, Jabir bin Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Kindir, Al-Farazi, Al-Fargani, Abu Ali Al-Hasan bin Haythami, Al-Bitruji, Ibnu Sina (Aviccena), Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Khaldun, dsb.

Bahkan seorang profesor filsafat dan profesor studi Yahudi Zantker di Universitas Kentucky, Oliver Leaman menuturkan kondisi intelektual di masa itu. “Pada masa peradaban agung di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur latin ayng masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempuanyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik, dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universitas penting berada” (Sumber: Buku Smart With Islam). 

Inilah kenapa bahasan sebelumnya menyebut generasi bangsa ini harus memiliki kemampuan mumpuni untuk mengelola negara dan jangan biarkan mereka sibuk memikirkan perihal biaya pendidikan. Bagaimana mereka bisa fokus sepenuhnya untuk meningkatkan kualitas diri dan memberikan kontribusi terbaik bagi negeri jika pikiran mereka dipenuhi dengan cara memperoleh biaya kuliah. Bahkan tak jarang kuliah sekedar ditujukan untuk mendapat kerja dan hidup enak di masa mendatang. Suasana materialistik inilah yang memicu munculnya pemikiran tersebut. Jika terus seperti ini kapan mereka sempat memikirkan nasib negeri ini?

Cerita keindahan peradaban Spanyol kala itu tentu bukan sekedar menjadi pemanis dalam tulisan ini, namun menjadi sebuah harapan besar bagi negeri ini untuk mengikuti jejaknya. Mulai dari pelaksanaan pendidikan secara gratis hingga mengupayakan output pendidikan yang berkualitas dengan kurikulum pendidikan yang bukan hanya mencetak generasi cerdas secara intelektual, namun secara emosional maupun spiritual. Sebab generasi demikianlah yang mampu mengubah peradaban Spanyol kala itu menjadi peradaban agung dan dijadikan rujukan oleh negera-negara lain.*

Sri Wahyuni, S.Pd 

Banyuwangi, Jawa Timur 


latestnews

View Full Version