View Full Version
Ahad, 09 Aug 2020

Pandemi Mencengkram, Resesi Menghantam

 
Oleh:
 
Yuyun Novia || Revowriter Chapter Bogor
 
 
 
PANDEMI Covid di Indonesia jelas masih jauh dari kata akhir. Tren kurva penambahan kasus masih saja menanjak, sama sekali belum landai, bahkan titik puncak pun belum lagi dicapai. Sudah jadi rahasia umum bahwa negeri ini tidak siap hadapi Covid dari sisi sarana prasarana maupun sisi regulasi yang super lamban.
 
Muara dari ketidaksiapan ini adalah sikap mayoritas rakyat yang cenderung masa bodoh. Sikap ini juga hasil dari himpitan ekonomi yang sudah sulit kini semakin pailit. Terlebih pemerintah jelas lepas tangan terhadap kebutuhan pokok rakyat akibat tidak mau melakukan lockdown total. Akhirnya rakyat terpaksa bertarung di rimba pandemi dengan bertaruh nyawa demi sesuap nasi untuk bertahan hidup.
 
Kondisi bahaya kian menuju kritis dengan imbas ekonomi akibat wabah. Seluruh dunia merasakan putaran ekonomi yang melambat. China dan Amerika yang memang sedang perang dagang semakin terjun pertumbuhan ekonominya. Bahkan triwulan 2 lalu pertumbuhan ekonomi Amerika minus lebih dari 30 persen. Padahal stimulus sudah digelontorkan habis-habisan. Sampai membuat dolar Amerika terus mengalami kemerosotan dibanding banyak mata uang lainnya. 
 
Indonesia memang "hanya" minus 5,3 persen. Singapura memang minus 42 persen tapi itu tidak membuat Singapura sulit. Singapura sudah terlalu kaya untuk dianggap sulit. Demikian juga Amerika. Indonesia tentu beda level dengan dua negara sugih tadi. Minus 5,3 persen sudah cukup untuk memporak poranda kondisi ekonomi Indonesia yang memang pondasinya sangat rapuh.
 
Konsorsium perusahaan investasi internasional, Deep Knowledge Group, memperbarui 100 daftar negara yang dianggap aman dari wabah pandemi Covid-19. Daftar ini disusun berdasarkan 130 parameter berbagai macam data mulai dari efisiensi karantina, kemampuan pengawasan serta deteksi, kesiapan sistem kesehatan, hingga efisiensi kinerja pemerintah. Posisi Indonesia berada di urutan 97 dari 100 negara.
 
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira menyatakan dalam akun media sosialnya bahwa "Non sense pemulihan ekonomi tanpa bikin kurva positif covid19 landai dulu." Karena bagaimanapun Indonesia sudah di gerbang resesi dengan pertumbuhan yang minus selama dua triwulan berturut-turut. Dengan fakta pondasi yang rapuh, tak akan mungkin pemulihan ekonomi bisa dicapai tanpa menyelesaikan problem krisis multidimensi akibat pandemi. Lagi pula, kesulitan ekonomi ini baru permulaan dan akan memuncak di tahun depan dan setelahnya.
 
Kondisi resesi akibat pandemi yang dialami oleh banyak negara maju dan semakin mencekik negara miskin dan berkembang adalah potret kegagalan sistem ekonomi kapitalis sekuler dalam menyejahterakan umat manusia. Basis fiat money dengan mudah membuat nilai mata uang diusahakan mayi-matian bertahun-tahun, hilang begitu saja hanya dalam hitungan pekan atau bulan. Watak laten ekonomi kapitalis yang berprinsip mengeluarkan modal sekecil-kecilnya demi untung sebesar-besarnya semakin memperlebar jurang kemampuan finansial si kaya dan si miskin.
 
Sistem ekonomi Islam tidak hanya menekankan aspek materialistis untuk berorientasi hanya pada keuntungan fisik semata. Sistem ekonomi Islam dibangun atas landasan Aqidah Islam yang meletakkan kedaulatan di tangan Syara sehingga aturan yang berlaku dan pertanggungjawaban utama ada di tangan Allah sebagai penguasa alam semesta. Ekonomi Islam menitikberatkan distribusi ekonomi yang adil sehingga kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja. Dengan pemerataan yang adil melalui penerapan syariat Islam secara komprehensif maka kesejahteraan dan rahmat bagi seluruh alam dapat terwujud.*

latestnews

View Full Version