View Full Version
Kamis, 13 Aug 2020

Kuasa Korporasi Atas Pejabat Negeri

 

Oleh:

Arinda Tymfani U.K || Aktivis Muslimah Papua


SEORANG Djoko Tjandra berhasil membuat ramai jagad raya. Hasil yang diperolehnya adalah suatu kebanggaan dirinya atas apa yang sudah dilakukan. Kuasa korporasi lah sebagai perisai dirinya. Dan tentunya dengan bantuan pejabat negeri yang bersangkutan. Tabiat ini mulai mendarah daging untuk penguasa negeri. Tidak ada rasa malu atau pun jera dalam dirinya. Apalagi kekayaan hidupnya yang menjamin keselamatan dari hukum. Sudah menjadi rahasia umum ketika suatu tindak kejahatan akan menjadi tumpul di mata hukum ketika korporasi yang berkuasa. Karena di negara saat ini yang berkuasa bukan hanya penguasa saja melainkan penguasaha.

Permainan kasus ini sering timbul tenggelam karena digunakan untuk kepentingan penguasa. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa kasus ini bukanlah satu-satunya kasus yang digunakan untuk drama pejabat negeri melainkan kasus-kasus korupsi yang lain pun sama halnya demikian. Ada yang diuntungkan dan ada pula keberuntungan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam 11 tahun pencarian, kemudian tiba-tiba tertangkap rasanya janggal untuk bisa diterima.

Seorang pemain tunggal yang banyak jejak data pribadinya melalui perusahan-perusahan nya, sulit untuk ditemukan. Siapa yang berhasil melindunginya? Jawabannya pasti sama yaitu pejabat negeri, salah satunya kita sebut saja Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Prasetijo ada hubungannya dalam skandal surat jalan Djoko Tjandra. Ini adalah Aksi dan narasi terbuka ketidakpatuhan para penegak hukum dan perencanaan kejahatan personil birokrasi elite negeri. Namun tidak lantas menjadi prestasi juga untuk para aparat hukum yang sudah mengamakan Djoko Tjandra. Karena banyak pihak pula yang ingin untuk mendalami kasus ini. Salah satunya adalah Boyamin Saiman selaku koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Beliau dikenal karena sering mengajukan gugatan praperadilan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (tirto.id, 25/07/20).

Kejadian ini menunjukkan betapa buruknya mental perilaku birokrasi. Sekaligus menjadi cermin buruknya interkoneksi sistem antar instansi. Mungkin ada keinginan yang sama untuk sesuai aturan yang ada. Tetapi ini bisa saja sengaja dilakukan para pihak memilih untuk berdiam diri dan mengabaikan kewajibannya yang semestinya memproses hukum orang yang berstatus (DPO) Daftar Pencarian Orang. Ini justru berpihak pada orang yang berstatus DPO yang jelas nyata perilakunya telah merugikan uang negara.
====

Argumentasi Religi

Ketika negara merujuk pada sistem syari'at Islam secara kaffah. Permasalahan seperti ini sudah pasti di kupas tuntas. Namun hal ini tentu tidak lepas dari peran Allah Subhanahu Wata'ala yang telah menunjukkan kepada kita semua bahwa sistem buatan manusia adalah sistem yang rusak. Karena didalam sistem yang kufur itu maka akan tumbuh orang yang rusak pula. Seperti pada firman Allah SWT, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS:An-Nisa' [4] :123).

Didalam Islam perbuatan korupsi (ghulul) adalah tindakan yang tercela. korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Semua tindakan tersebut tergolong dosa besar yang memiliki sanksi serius dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu maka itu merupakan ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat." (HR. Muslim)

Adapun hukuman bagi orang yang melanggar hukum Allah SWT. Khususnya seseorang yang melakukan penghianatan terhadap amanat rakyat (ghulul) adalah dengan hukuman potong tangan. Dalam TQS. Al-Maidah [5]: 38, Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Islam sangat sempurna dalam aturannya hingga terhadap perkara yang kecil. Inilah yang menjadi hal yang di takuti oleh orang-orang munafik lagi dzalim. Mereka akan senantiasa terkekang atas aturan dalam Islam. Jika sitem Islam benar-benar di terapkan dalam suatu negara maka tidak akan ada lagi perilaku dalam diri umat untuk melakukan hal yang tercela. Begitulah Islam yang sangat di rindukan sebagian umat muslim di dunia ini.

Untuk itu seharusnya negara saat ini juga dapat memberikan ketegasan kepada para pelaku kejahatan khususnya tindak kejahatan korupsi. Negara harus tegas dalam melawan siapa pun yang merintangi proses hukum. Tidak ada alasan apa pun untuk mencurangi hukum. Yang dalam kasus ini pun para pelaku dapat dipidana pada Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) Tahun penjara atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)” Ditambah hukum pemberatan dan dapat pula ditambahkan pencopotan serta pemberhentian status pegawai semua para pelaku atau bagi siapa pun yang menjalankan profesi yang bertentangan dengan kode etik. Jadi, tidak seorang pun yang boleh mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan proses hukum yang sedang dilakukan untuk menegakkan keadilan (Mkri.id, 21/05/20). Wallahualam bish-showab.*

Oleh: Arinda Tymfani U.K
(Aktivis Muslimah Papua)

Pada Kamis (30/7/2020) Djoko Tjandra berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia setelah menjadi buronan selama 11 tahun. Badan Resese Kriminal (Bareskrim) Polri telah secara resmi menyerahkan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra ke Kejaksaan Agung. Penyerahan tersebut dilakukan di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (31/7/2020) pukul 21.00 WIB. Selain itu, Bareskrim juga akan mendalami dugaan aliran dana ke pihak-pihak yang membantu pelarian Djoko Tjandra. Diketahui, Bareskrim menetapkan Prasetijo sebagai tersangka dalam kasus pelarian Djoko Tjandra. Prasetijo diduga telah membuat dan menggunakan surat palsu. Dugaan tersebut dikuatkan dengan barang bukti berupa dua surat jalan, dua surat keterangan pemeriksaan Covid-19, serta surat rekomendasi kesehatan (kompas.com, 01/08/20).

The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) mengungkap tabir rahasia jejaring bisnis Djoko Tjandra lewat investigasi firma hukum Mossack Fonseca yang dikenal The Panama Papers. Nama Djoko Tjandra dengan penulisan ‘Joko Soegiarto Tjandra’ tercatat setidaknya di dua perusahaan cangkang yang lazim untuk merahasiakan aktivitas bisnis. Ketika muncul investigasi The Panama Papers di Indonesia pada 2016, aparat penegak hukum berjanji menindaklanjuti, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Presiden Joko Widodo. Janji pemerintah menindaklanjuti dokumen rahasia itu terhenti sebatas mempelajari sebagai data pembanding pajak negara-negara G-20, termasuk Indonesia. Kini tak terdengar lagi apa hasil dari upaya tersebut (tirto.id, 25/07/20).
====

Kuasa Korporasi Atas Pejabat Negeri

Seorang Djoko Tjandra berhasil membuat ramai jagad raya. Hasil yang diperolehnya adalah suatu kebanggaan dirinya atas apa yang sudah dilakukan. Kuasa korporasi lah sebagai perisai dirinya. Dan tentunya dengan bantuan pejabat negeri yang bersangkutan. Tabiat ini mulai mendarah daging untuk penguasa negeri. Tidak ada rasa malu atau pun jera dalam dirinya. Apalagi kekayaan hidupnya yang menjamin keselamatan dari hukum. Sudah menjadi rahasia umum ketika suatu tindak kejahatan akan menjadi tumpul di mata hukum ketika korporasi yang berkuasa. Karena di negara saat ini yang berkuasa bukan hanya penguasa saja melainkan penguasaha.

Permainan kasus ini sering timbul tenggelam karena digunakan untuk kepentingan penguasa. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa kasus ini bukanlah satu-satunya kasus yang digunakan untuk drama pejabat negeri melainkan kasus-kasus korupsi yang lain pun sama halnya demikian. Ada yang diuntungkan dan ada pula keberuntungan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam 11 tahun pencarian, kemudian tiba-tiba tertangkap rasanya janggal untuk bisa diterima.

Seorang pemain tunggal yang banyak jejak data pribadinya melalui perusahan-perusahan nya, sulit untuk ditemukan. Siapa yang berhasil melindunginya? Jawabannya pasti sama yaitu pejabat negeri, salah satunya kita sebut saja Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Prasetijo ada hubungannya dalam skandal surat jalan Djoko Tjandra. Ini adalah Aksi dan narasi terbuka ketidakpatuhan para penegak hukum dan perencanaan kejahatan personil birokrasi elite negeri. Namun tidak lantas menjadi prestasi juga untuk para aparat hukum yang sudah mengamakan Djoko Tjandra. Karena banyak pihak pula yang ingin untuk mendalami kasus ini. Salah satunya adalah Boyamin Saiman selaku koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Beliau dikenal karena sering mengajukan gugatan praperadilan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (tirto.id, 25/07/20).

Kejadian ini menunjukkan betapa buruknya mental perilaku birokrasi. Sekaligus menjadi cermin buruknya interkoneksi sistem antar instansi. Mungkin ada keinginan yang sama untuk sesuai aturan yang ada. Tetapi ini bisa saja sengaja dilakukan para pihak memilih untuk berdiam diri dan mengabaikan kewajibannya yang semestinya memproses hukum orang yang berstatus (DPO) Daftar Pencarian Orang. Ini justru berpihak pada orang yang berstatus DPO yang jelas nyata perilakunya telah merugikan uang negara.
====

Argumentasi Religi

Ketika negara merujuk pada sistem syari'at Islam secara kaffah. Permasalahan seperti ini sudah pasti di kupas tuntas. Namun hal ini tentu tidak lepas dari peran Allah Subhanahu Wata'ala yang telah menunjukkan kepada kita semua bahwa sistem buatan manusia adalah sistem yang rusak. Karena didalam sistem yang kufur itu maka akan tumbuh orang yang rusak pula. Seperti pada firman Allah SWT, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS:An-Nisa' [4] :123).

Didalam Islam perbuatan korupsi (ghulul) adalah tindakan yang tercela. korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Semua tindakan tersebut tergolong dosa besar yang memiliki sanksi serius dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu maka itu merupakan ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat." (HR. Muslim)

Adapun hukuman bagi orang yang melanggar hukum Allah SWT. Khususnya seseorang yang melakukan penghianatan terhadap amanat rakyat (ghulul) adalah dengan hukuman potong tangan. Dalam TQS. Al-Maidah [5]: 38, Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Islam sangat sempurna dalam aturannya hingga terhadap perkara yang kecil. Inilah yang menjadi hal yang di takuti oleh orang-orang munafik lagi dzalim. Mereka akan senantiasa terkekang atas aturan dalam Islam. Jika sitem Islam benar-benar di terapkan dalam suatu negara maka tidak akan ada lagi perilaku dalam diri umat untuk melakukan hal yang tercela. Begitulah Islam yang sangat di rindukan sebagian umat muslim di dunia ini.

Untuk itu seharusnya negara saat ini juga dapat memberikan ketegasan kepada para pelaku kejahatan khususnya tindak kejahatan korupsi. Negara harus tegas dalam melawan siapa pun yang merintangi proses hukum. Tidak ada alasan apa pun untuk mencurangi hukum. Yang dalam kasus ini pun para pelaku dapat dipidana pada Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) Tahun penjara atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)” Ditambah hukum pemberatan dan dapat pula ditambahkan pencopotan serta pemberhentian status pegawai semua para pelaku atau bagi siapa pun yang menjalankan profesi yang bertentangan dengan kode etik. Jadi, tidak seorang pun yang boleh mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan proses hukum yang sedang dilakukan untuk menegakkan keadilan (Mkri.id, 21/05/20).

Wallahualam Bish-Showab

 


latestnews

View Full Version