ZAKAT fithri tidak boleh dikeluarkan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah dari golongan fakir miskin, berdasarkan hadits Ibnu Abbas:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ.
“Rasulullah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud no: 1609. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan Abu Daud I/447: hasan)
Berkata Ibnu Qayyim Al-Jauziah:
“Adapun di antara petunjuk dari Rasulullah r, adalah mengkhususkan sedekah ini (zakat fithri) untuk orang-orang miskin saja dan beliau tidaklah membaginya kepada golongan yang delapan, tidak pernah memerintahkannya dan tidak seorang pun dari kalangan shahabat melakukannya serta tidak pula orang-orang yang datang setelah mereka. Bahkan ini merupakan salah satu dari dua pendapat madzhab kami bahwa zakat fithri tidak boleh disalurkan kecuali kepada orang-orang miskin saja dan inilah pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat yang mewajibkan pembagiannya kepada golongan yang delapan tersebut.” (Zaadul Ma’ad II/21).
Adapun delapan golongan yaitu fakir, miskin, amil (pengurus zakat), muallaf, budak yang ingin merdeka, orang berhutang, mujahid di medan perang dan musafir yang butuh bekal sebagaimana tercantum di dalam surat At-Taubah ayat 60 adalah untuk zakat harta (maal) atau shadaqah sunnah bukan zakat fithri.
Adapun tempat mengeluarkannya yaitu di daerah atau negeri di mana zakat itu dipungut dan dikumpulkan, kecuali apabila kebutuhan orang-orang di sana telah tercukupi dan tidak diketahui lagi yang berhak menerimanya, maka boleh disalurkan ke daerah atau negeri lain.
Namun perlu diingat bahwa pembagian zakat tidak mesti disamaratakan dari satu orang miskin dengan miskin lainnya. Amil boleh memberikan zakat lebih banyak kepada orang yang lebih membutuhkannya, di sisi lain juga seseorang yang hendak mengeluarkan zakatnya, boleh langsung mendatangi orang miskin yang dikehendakinya tanpa perlu mengamanahkannya kepada Amil.
Kesalahan-Kesalahan seputar Zakat Fithri
Sebagian Amil menetapkan zakat yang mesti dikeluarkan terlalu berlebih-lebihan, misalnya setiap orang harus mengeluarkan 4 kg beras atau lebih
Zakat justru disalurkan kepada yang tidak berhak menerimanya misalnya untuk remaja dan pengurus masjid dengan berdalih bahwa mereka termasuk golongan fisabilillah atau bahkan disimpan sebagai dana pembangunan masjid, wal’iyadzu billah.
Sebagian zakat yang telah dikumpulkan tidak disalurkan kecuali setelah shalat ‘Id.
Perkara-perkara tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad bahkan termasuk ajaran baru yang tidak dikenal oleh syariat. Rasulullah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari IV/372 no: 7349 dan Muslim III/1343 no: 1718)
Hikmah Disyariatkannya Zakat Fithri
Allah mewajibkan zakat fithri sebagai penyucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor serta sebagai makanan untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin, paling tidak ketika pada saat hari raya berdasarkan hadits Ibnu Abbas sebelumnya.
Di samping itu, terkandung di dalamnya juga sifat yang mulia yaitu kedermawanan dan kecintaan untuk selalu membantu sesama Muslim dan sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa terhadap apa yang terjadi dalam berpuasa, baik berupa kekurangan, kekeliruan maupun perbuatan dosa yang dikerjakannya selama berpuasa.
Salam dan shalawat semoga senantiasa tercurahkan atas nabi Muhammad, kerabat dan shahabatnya serta kaum Muslimin hingga datangnya hari kiamat.*
Sumber: Buku Panduan Praktis Ramadhan, Penerbit Pustaka Belajar Islam
Didukung oleh Rumah Qur’an (RQ) Wahdah Jogja
IG: https://www.instagram.com/rumahquranwahdahjogja/