Penulis:
Fitri Dika Pratiwi || Mahasiswa
DALAM sidang putusan yang digelar pada Senin (23/8/2021), terdakwa kasus korupsi pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 Juliari Batubara resmi dijatuhi vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Juliari juga diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.597.450.000 dengan ketentuan apabila tidak dibayar dalam tempo satu bulan, harta bendanya akan dirampas. Selain itu, Juliari juga kehilangan hak politik berupa hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Menurut Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan mengatakan hukuman tersebut masih terlalu ringan jika dibandingkan kejahatan yang Juliari lakukan. Jika merujuk pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan yang dilakukan Juliari bisa diinterpretasikan sebagai korupsi dalam keadaan krisis, yang hukumannya mesti diperberat (Kompas.com, 24/8/2021).
Dampak Keringanan Vonis
Menurut Haili Hasan, vonis yang ringan kepada Juliari mengecewakan perasaan masyarakat yang berharap Juliari mendapat hukuman berat. Sebab, tindakan Juliari sudah sangat keterlaluan membuat masyarakat kesulitan mendapatkan dana bantuan sosial penanganan Covid-19.
Wajar saja jika masyarakat marah hingga melampiaskan dengan mencaci maki dan menghina terdakwa koruptor eks menteri sosial itu. Namun, tidak seharusnya hakim menjadikan reaksi publik tersebut sebagai pertimbangan untuk meringankan vonis bagi terdakwa koruptor. Sebaliknya, reaksi publik itu seharusnya menjadi tanda bagi pengadilan bahwa terdakwa koruptor memang harus dihukum seberat-beratnya.
Vonis yang ringan bagi pelaku korupsi juga tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku. Akibatnya, masih menjadi kemungkinan besar kejahatan yang sama akan berulang.
Argumentasi Religi
Jika kita mau menengok kepada Islam, maka akan kita dapati bahwa Islam dengan konsep penerapan hukumnya mampu menyelesaikan berbagai kejahatan kriminal termasuk juga tindakan korupsi. Menurut catatan sejarah dari Universitas Malaya Malaysia, sepanjang kurun waktu Syariah Islam diterapkan, kurang lebih 1400 tahun, hanya ada sekitar 200 kasus yang diajukan ke pengadilan. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kasus kriminal yang terjadi saat ini.
Islam dalam penerapan sistem pemerintahannya akan menegakkan tiga pilar penjagaan. Pilar pertama adalah ketakwaan individu. Dengan ketakwaan ini, akan terbangun dalam diri setiap individu rasa takut kepada Allah ta'ala. Sehingga mereka akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas. Tersebab mereka yakin bahwa setiap perbuatan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Pilar kedua adalah kontrol masyarakat. Para individu yang bertakwa akan membentuk masyarakat yang bertakwa juga. Di dalam masyarakat akan terbangun 'habits' saling menasehati. Jika masyarakat menemukan ada yang melakukan kejahatan, maka mereka langsung mengingatkan pelaku. Hal ini tentu saja akan meminimalisir kejahatan yang terjadi.
Pilar ketiga adalah negara. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur penerapan kebijakan. Dalam penerapan hukum pidana, hukum Islam bersifat zawajir (pencegah) yang berarti hukuman tersebut dapat mencegah manusia melakukan kejahatan itu, dan bersifat jawabir (penebus) yang berarti hukuman tersebut sebagai penebus dosa bagi pelaku sehingga di akhirat akan terbebas dari hukuman atas kejahatan itu.
Dari sini kita dapat melihat bahwa betapa unik dan lengkapnya aturan dalam Islam. Penerapan syariah islam mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah kita. Tidak ada salahnya jika kita mencontoh penerapan sistem islam ini. Sebab, sistem hukum saat ini tidak mampu membuat jera pelaku korupsi, sehingga tidak mampu menjadi solusi atas permasalahan yang terjadi. Lantas, sampai kapan akan terus dibiarkan seperti ini? Wallahu a'lam bishshawwab.*