Penulis:
Hanah Nuraenah
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini memerintahkan agar harga tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan. Jokowi meminta agar biaya tes PCR pada kisaran 450-550 ribu rupiah, sebagaimana dalam keterangannya melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/8/2021).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati juga mengeluarkan aturan baru mengenai tarif tes antigen di Kementerian Kesehatan. Beleid baru tersebut berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 104/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Layanan Uji Validitas Rapid Diagnostic Test Antigen yang Berlaku pada Kementerian Kesehatan (t).
Mengutip aturan tersebut, Sri Mulyani menetapkan uji validitas rapid diagnostic test antigen yang dilaksanakan oleh laboratorium di lingkup Kementerian Kesehatan dikenakan tarif Rp. 694.000,-. PMK 104/2021 berlaku setelah 15 hari sejak tanggal diundangkan pada 3 Agustus 2021. Ini berarti tarif dan bea PNBP antigen oleh Kemenkes mulai diterapkan pada 18 Agustus 2021.
“Harga PCR atau swab harus diberikan semurah-murahnya !!! Negara harus hadir memastikan ini. Kenapa negara lain bisa lebih murah dari kita saat ini ? Bukankah beli bayam 100 selalu lebih murah dari beli bayam 10. Ayolah Bisa ! Mohon kendalinya Pak @Jokowi," tulis Tompi di akun Twitternya.
Setelah banyak kritikan dari masyarakat atas mahalnya biaya tes PCR dan antigen mandiri, barulah pemerintah menurunkan harganya. Kini tarif tes PCR di Indonesia pada kisaran Rp. 450.000 hingga Rp. 550.000, dimana sebelumnya sekitar Rp. 900.000 bahkan ada yang mencapai 1 juta rupiah. Namun ada beberapa daerah yang mengenakan tarif masih cukup mahal, seperti di Kota Tangerang masih berkisar antara Rp. 700.000 hingga Rp. 900.000. Padahal pemerintah telah menurunkan harganya menjadi Rp. 495.000 untuk wilayah Jawa-Bali dan untuk luar wilayah Jawa-Bali sebesar Rp. 525.000.
Meski sudah turun, harga tes PCR di Indonesia masih tergolong mahal. Jika dibandingkan negara lain dalam satu kawasan, India mencatatkan diri sebagai negara dengan harga PCR termurah. Pemerintah Kota Delhi menetapkan harga PCR sebesar 500 rupee atau setara dengan Rp96.000. Turun dari harga sebelumnya di kisaran 800 rupee atau setara Rp 150.000.
Salah satu alasannya karena masih ada komponen yang diimpor dari luar negeri. Biaya impor bahan baku yang mahal menentukan harga PCR di Indonesia. Sebab, bahan baku tetap harus diolah lagi di dalam negeri, itu membutuhkan biaya.
Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT Agung Eru Wibowo mengakui, 90 persen alat kesehatan Indonesia masih mengandalkan impor. Bahkan, dari Alat Pelindung Diri (APD), alat swab, hingga reagen PCR.
Industri farmasi Indonesia masih bergantung pada China dan India. Dua negara ini bisa dibilang sudah mampu memproduksi bahan-bahan kimia sendiri. Itulah sebabnya, harga PCR di India tak sampai Rp. 100.000. Untuk membuat alat PCR bukan perkara mudah. Walaupun Indonesia tidak kehabisan stok ilmuwan untuk membuat produk tersebut.
"Alat-alat memang masih banyak alat dari luar. Karena desain alat perlu sistem pabrikan yang luar biasa. Sebetulnya kalau dibedah, saya yakin kita para peneliti Indonesia bisa," tegas Agung.
Artinya, jika pemerintah mau serius menuntaskan masalah pandemi dengan menyiapkan alokasi dana khusus untuk sektor kesehatan serta memberdayakan para ilmuwan, maka masalah wabah beserta turunannya tidak akan terus berlarut. Termasuk masalah di bidang ekonomi juga akan sedikit teratasi, dimana salah satu penyebabnya adalah budaya impor yang terus menggejala di berbagai sektor.
Jika memang tes ini adalah bagian dari bentuk penanganan terhadap pandemi, harusnya pemerintah menyelenggarakan dengan harga semurah-murahnya atau bahkan gratis tanpa bea. Dengan begitu, harapannya seluruh masyarakat bisa terpantau, sehingga jika ada yang terjangkit virus dapat ditangani dengan mudah dan cepat.
Namun kenyataan pahit yang harus diterima rakyat, adanya PMK 104/2021 menyatakan bahwa lembaga penyelenggara tes agar tetap memberi pemasukan bagi negara. Ini membuktikan bahwa hubungan negara dengan rakyatnya tidak lebih dari akad transaksional karena selalu diukur dengan kacamata ekonomi, padahal di tengah suasana pandemi.
Dalam Islam, bila test ini termasuk bagian dari upaya memisahkan antara orang sakit dan sehat serta merupakan satu rangkaian dari penanganan pandemi, maka semestinya bebas biaya. Bahkan ini harus dilakukan kepada semua orang, dalam tempo singkat. Haram hukumnya mengambil pungutan atas layanan yang memang wajib diberikan oleh negara.*