View Full Version
Sabtu, 11 Sep 2021

Roller Coaster Harga Cabai

 

Penulis:

Fita Rahmania, S. Keb., Bd.

 

CABAI adalah salah satu komoditi pangan penting bagi penduduk Indonesia sejak masa Jawa kuno dan menjadi semakin familiar dengan lidah orang Indonesia. Walaupun ukurannya kecil, sensasi pedasnya akan menambah kenikmatan pada makanan. Tak heran jika orang Indonesia terkenal akan kegemarannya pada sambal, yakni olahan  saus yang berbahan dasar cabai yang dihancurkan sampai keluar kandungan airnya sehingga muncul rasa pedasnya.

Oleh karenanya, fluktuasi harga cabai di masyarakat sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi. Apabila harga cabai meroket, mereka akan kelimpungan karena begitu pentingnya cabai dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari lini rumah tangga, pedagang sayur, pedagang makanan, semua merasa resah. Namun, bila harga cabai merosot satu-satunya yang dirugikan adalah para petani cabai.

Sepanjang tahun ini saja beberapa kali harga cabai mengalami naik turun. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, pada awal Januari 2021 harga cabai rawit merah berada pada kisaran harga Rp 71.250 per kg. Kemudian merangkak naik hingga pada pertengahan Maret 2021, harga cabai rawit merah menembus harga Rp 100.400 per kg. Di bulan April 2021 harga cabai perlahan turun dan pada bulan Mei harga cabai Rp 66.000. beberapa bulan berselang yakni di akhir bulan Agustus hingga hari ini tanggal 07/09/2021, harga cabai anjlok hingga berada di harga Rp 36.750.

Ketidakstabilan harga cabai selain disebabkan oleh dampak diberlakukannya pembatasan masyarakat saat pandemi, ternyata juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan impor cabai. Dilansir dari cnbcindonesia.com, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Januari hingga Juli 2021, Indonesia telah melakukan impor cabai sebanyak 30.157,3 ton dengan nilai US$ 64,62 juta atau setara dengan Rp 930,5 miliar (Kurs Rp 14.400/US$).

Nilai impor periode Januari-Juli 2021 naik 58,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang nilainya mencapai US$ 40,84 juta dengan volume impor mencapai 21.538,79 ton. Negara-negara pemasok cabai sepanjang Januari-Juli 2021 diantaranya India, China, Malaysia, Spanyol, Australia, dan negara lainnya.

Menurut direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan Bambang Sugiharto dalam siran pers pada Senin, 24 Agustus 2021, impor cabai tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Dalam keterangannya, Bambang mengatakan cabai diimpor dalam bentuk cabai kering dan juga cabai bubuk, dan bukan cabai segar konsumsi.

Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi cabai nasional pada 2020 mencapai 2,77 juta ton. Angka tersebut mengalami peningkatan 7,11 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Selain itu pada tahun 2020, Indonesia juga tercatat mengekspor aneka cabai dengan nilai US$25,18 juta, artinya naik 69,86 persen dibandingkan dengan 2019.

Kebijakan impor cabai ini mendapat kritikan pedas dari banyak pihak. Salah satunya Politisi Partai Demokrat Yan Harahap yang mengingatkan kembali kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelum menjadi orang nomor satu di Indonesia. Salah satu kampanye Jokowi tersebut yakni memiliki misi untuk menghentikan impor pangan.

Yan sangat menyayangkan pemerintah yang kini justru lebih banyak impor. Pemerintah masih saja impor cabai meskipun saat ini pasokannya berada pada posisi surplus di Indonesia.

“Kini dikit-dikit impor. Cabai, yang pasokannya surplus pun diimpor,” ungkap Yan Harahap.

Oleh karena itu menurutnya wajar apabila para petani cabai marah, sebab saat tiba panen harga cabai tersebut anjlok.

Polemik anjloknya harga cabai adalah satu dari sekian banyak komoditi lain yang diimpor namun dampaknya malah merugikan petani atau produsen dalam negeri. Tentu hal ini tidak lain adalah bentuk akibat gagalnya sistem demokrasi yang diemban negeri ini dalam mengurusi rakyatnya.

Sistem ini menihilkan peran negara sebagai pengatur utama (regulator) pengelolaan pertanian dari hulu hingga hilir. Swasta dan perusahaan besar bisa berperan sebebas-bebasnya dalam menguasai modal dan mengelola aset-aset vital yang berhubungan dengan tata kelola pertanian. Akhirnya banyak petani yang tidak berdaya berpindah profesi dan tidak mau menjadi petani.

Negara harusnya bertanggungjawab penuh dalam melindungi petani lokal dan mengurusi petani mulai dari penyediaan lahan pertanian yang layak tanam, pupuk dengan harga terjangkau, memfasilitasi sistem irigasi yang bagus dan aman untuk lingkungan, menjaga stabilitas harga panen tanaman, hingga menjamin hasil panen terdistribusi dengan baik sampai ke tangan konsumen/rumah tangga.

Berbeda dengan sistem Islam. Pemimpinnya bertanggung jawab memberikan pelayanan penuh kepada rakyat untuk ketiga kebutuhan mendasar tersebut. Hal ini juga terkait dengan cara memilih pemimpin dalam sistem Islam yang murah dan tidak berbelit-belit.

Kegemilangan pemerintahan Islam bisa kita lihat pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Rakyatnya sejahtera pada zamannya. Kemakmuran umatnya merata, mulai dari wilayah Afrika hingga ke seluruh wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah. Demikianlah jika Islam diterapkan secara kafah, keberkahan dari Allah melimpah dari langit dan bumi.

Allah Swt berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 96,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan karena perbuatannya.”*


latestnews

View Full Version