View Full Version
Senin, 13 Sep 2021

Sampai Kapan Agamaku Selalu Dinista?

PENISTAAN terhadap agama Islam yang agung ini kembali terjadi. Kali ini seorang  youtuber yang bernama Muhammad Kece menghina Rasulullah dan merendahkan Al Qur’an. Demi pundi-pundi rupiah dari akun youtube-nya, dia rela menabuh genderang perang terhadap umat Islam dengan membuat konten provokatif  menghina Islam (banten.suara.com).

Muhammad Kece bukanlah yang pertama. Sebelumnya, sudah banyak daftar para penista Islam di negeri ini maupun di luar negeri. Sebut saja kasus Sukmawati yang membacakan puisi yang diantara bait puisinya membandingkan kerudung dengan konde, dan menyoal peran Sukarno lebih berjasa dari Rasulullah SAW pada awal abad-20.

Ada pula Yoseph Paul Zhang, yang mengaku sebagai nabi ke-26, namun kasusnya masih menggantung hingga hari ini. Atau Ade Armando yang pernah menyatakan bahwa Allah berasal dari Arab. Dari luar negeri adaEmmanuel Macron, presiden Perancis yang menghina Islam dan membuat kebijakan anti Islam.

Menurut Ketua LBH Pelita Umat, Ahmad Khozinuddin, sepanjang kurun tahun 1965-2017 setidaknya terdapat 97 kasus penistaan agama di Indonesia. Di antaranya, 76 perkara diselesaikan melalui jalur hukum (persidangan) dan sisanya di luar persidangan (non-yustisia). Bahkan, beberapa di antara kasus-kasus hukum penistaan agama itu mendapatkan sorotan media yang cukup intensif.

Sebut saja kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin, kasus Sekte Pondok Nabi, kasus Survei Tabloid Monitor, kasus Lia Aminudin (Lia Eden), kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), kasus Tajul Muluk alias Haji Ali Murthado, kasus Nando Irawansyah M’ali, Kasus Rusgiani, Kasus Heidi Eugenie, dan yang paling fenomenal adalah kasus penodaan surah Al Maidah oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (muslimahnews.com)

Penistaan agama yang terus berulang ini mengindikasikan bahwa negara tidak mampu melindungi kehormatan agama. Peran negara hilang ketika umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini terzalimi dengan berbagai ujaran kebencian terhadap Islam. Sebagaimana kasus-kasus penistaan terhadap Islam yang disebutkan di atas, yang hanya berakhir dengan permintaan maaf. Islam hanya menjadi bahan lelucon dan gurauan yang tidak bermutu.

Ternyata, penistaan agama memang tidak dianggap kesalahan di alam demokrasi. Para penista agama seolah tidak tersentuh hukum. Pelaporan kasus penistaan agama berjalan lambat dan bahkan berhenti di tempat, tidak ada kelanjutannya.

Semua ini akibat penerapan kapitalisme yang berakidah sekuler. Sekularisme memang meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dari sekularisme inilah lahir paham lainnya, yakni liberalisme, pluralisme, dan demokrasi yang menganggap agama bukan sesuatu yang sakral, wajib dijaga dan diutamakan. Marah karena agamanya dihina dianggap berlebihan. Sungguh ironis.

Penerapan hukum sekuler memang selalu akan terbentur dengan paham lainnya. Jika penista agama ditindak tegas, berbenturan dengan HAM dan kebebasan berpendapat. Jika tidak ditindak tegas, kebebasan pasti bablas dan tak terkontrol.

Namun, akan berbeda ceritanya jika Islam yang dijadikan panduan dalam menetapkan hukum. Dalam Islam, agama adalah sesuatu yang wajib dijaga dan dimuliakan. Sebab, salah satu tujuan diterapkannya syariat Islam adalah memelihara dan melindungi agama. Dengan konsep hifzud-din (menjaga agama), negara tidak akan membiarkan para penista tumbuh. Negara akan menerapkan sanksi tegas terhadap para pelaku agar memberi efek jera bagi yang lainnya. Sehingga penistaan agama tidak akan terjadi lagi. Insyaallah.Wallahu’alam bi shawab.

Fanti Setiawati, Ketapang Kalimantan Barat


latestnews

View Full Version