Oleh : Naila Dhofarina Noor
Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam mengatur bagaimana menyelesaikan kasus korupsi secara jitu. Ada namanya sistem sanksi hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).
Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya:
وَمَن يَغْلُلْ } من الغنائم شيئاً { يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ القيامة } حاملاً له على عنقه { ثُمَّ توفى } توفر { كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ } بما عملت من الغلول وغيره { وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ } لا ينقص من حسناتهم ولا يزاد على سيئاتهم
“Barang siapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya”. (Tafsir Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I, hlm. 75).
Beberapa langkah detail bagaimana Islam mengatasi korupsi adalah sebagai berikut:
Pertama, menguatkan keimanan para penguasa, pejabat dan penegak hukum, serta rakyat. Dengan iman, maka akan ada rasa senantiasa diawasi Allah. Mereka takut hanya kepada Allah saat akan korupsi atau diajak untuk korupsi. Allah swt berfirman:
فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
Artinya: “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit”. ( Al Mâidah:44).
Kedua, penghitungan kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat jabatan yang diamatkan kepadanya. Hal demikian dilakukan dalam rangka tabayyun atau mencari tahu jumlah kekayaan seorang pemangku jabatan, yang memungkinkan rehabilitasi terhadap nama baik terhadap tindakan kejahatan berikutnya, misalnya suap dan korupsi.
Ketiga, diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.
Keempat, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
Kelima, pilar-pilar lain dalam upaya pemberantasan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.
Keenam, dalam Islam status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan. Dengan pelaksanaan syariat Islam ini, wajar saja jika selama 13 abad tahun Khilafah berdiri, kasus korupsi sangat minim terjadi. Berbeda dengan di dalam sistem Kapitalisme Demokrasi. Kasus korupsi subur terjadi hingga seolah menjadi tradisi. Tidak hanya karena faktor moral ataupun tingkat keimanan individu tapi juga tidak membuat jera sistem hukum yang berlaku.
Kegemilangan sistem Islam telah terbukti memberantas korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan sistem hari ini yang belum mampu menyelesaikan kasus korupsi. Baru-baru ini saja ada kasus korupsi yang melibatkan bos Waskita yang menangani pembangunan tol. Bagi kita yang sering melewatinya, ternyata ada hal 'miring' dibaliknya. Sebagai wujud peduli akan kondisi negara kita, tentu tidak sekedar senang atau berbangga dong dengan semakin dimudahkannya perjalanan kita.
Sudah banyak media membahas soal korupsi bos Waskita ini. Salah satunya, Republika.co.id, 29/05/2023, yang mewartakan bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Selain dia, ada empat orang yang juga menjadi tersangka. Diantaranya, Direktur Operasional II PT Waskita Karya, Bambang Rianto (BR), Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya Taufik Hendra Kusuma (THK), Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya Haris Gunawan (HG) dan Nizam Mustafa (NM), selaku Komisaris Utama PT Pinnacle Optima Karya. Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi menyebutkan, nilai kerugian negara mencapai Rp 2 triliun akibat korupsi ini.
"Peristiwa ini sudah sepatutnya juga menjadi peringatan kepada BUMN lain untuk benar-benar bekerja secara profesional dan transparan sesuai dengan peta jalan yang telah ditetapkan," kata Erick Thohir selaku menteri BUMN. (CNNIndonesia,29/05/2023). Semoga benar-benar menjadi pelajaran bersama dan segera berakhir 'tradisi' korupsi di negeri yang kita sayangi ini.
Terakhir. Renungan bagi kita semua. Para sahabat rasul yang mulia, mereka terbiasa mengoreksi penguasa. Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkhuthbah di hadapan kaum muslim, setelah beliau diangkat menjadi khalifah, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Pada kesempatan lain, beliau benar-benar mencabut kebijakannya karena muhasabah dari rakyatnya.
Seperti itulah aktivitas muhasabah yang terjadi pada masa kepemimpinan para sahabat Rasulullah. Aktivitas ini dianggap biasa bahkan menjadi bukti cinta kepada mereka agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan atau kezaliman. Maka, sudah selayaknya bagi kaum muslimin menjadikan mereka sebagai teladan dalam aktivitas sehari-hari dan dakwah. Dengan demikian, keberkahan dan rahmat Allah bisa kita rasakan bersama. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google