Oleh: Hanifa Ulfa Safarini S.Pd.
Warga di Pangasinan RT 1 RW 13, Dusun Girimulya, Desa Binangun, Kota Banjar, Jawa Barat, sudah puluhan tahun mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih (tvonenews.com,7/8/23). Mendengar kata puluhan tahun kok ya rasanya miris sekali ya, kenapa bisa hal seperti ini dibiarkan terjadi sampai begitu lamanya? Bukankah Indonesia merupakan negara terkaya ke-5 dalam ketersediaan air tawar?
Kalau kita telusuri lebih jauh penyebab masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih itu dikarenakan air yang sudah banyak tercemari, baik oleh limbah pabrik, TPA sampah, sampah rumah tangga. Selain karena air bersih yang tercemari, kurangnya air bersih juga akibat dari kurangnya daerah resapan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Apabila tidak segera diatasi maka jelas kita akan kekurangan sumber air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari & juga akan berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional, karena adanya ancaman gagal panen pada lahan pertanian. Kondisi ini pun dialami juga oleh sebagian warga di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor mencatat tren penyakit diare mulai meningkat di Bogor, hal ini terjadi karena warga kesulitan mendapat air bersih di tengah kemarau yang melanda (Republika, 13/8/23).
Padahal seperti kita tahu Bogor itu terkenal sebagai kota hujan tapi malah warganya kesulitan mendapatkan air bersih. Berarti kondisi ini sudah sangat darurat sekali. Harus segera ada penyelesaian secara tepat & benar. Bagaimana?
Sedangkan solusi sementara dari pemerintah adalah meminta agar adanya penyaluran pdam di tempat-tempat yang memang belum terjamah dan kesulitan mendapatkan air bersih. Padahal seperti kita tahu untuk bisa mendapatkan air bersih melalui pdam tidaklah gratis. Padahal seharusnya air bersih adalah hak yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk Allah di muka bumi ini.
Sayangnya, belum terlihat langkah serius dan signifikan dalam mengatasi krisis air bersih ini. Terlihat dari berulangnya krisis air bersih ini, bahkan makin parah. Pemerintah lebih mengandalkan pada langkah kebijakan kuratif, seperti distribusi dan droping air bersih pada daerah yang terkena kekeringan. Seharusnya jangan sampai sudah terjadi kekeringan baru bergerak, pemerintah harusnya peka terhadap permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terus monitor bendungan dengan melihat data BMKG setiap waktu.
Ada beberapa kondisi kontradiksi dalam kekeringan air ini, seperti justru melimpahnya air kemasan yang dijual di jalan-jalan, komersialisasi sumber daya air yang malah dijadikan barang dagangan para pengusaha swasta, banyaknya air laut yang bisa diolah menjadi air bersih, tapi penguasaan teknologi pengolahan airnya belum maksimal.
Untuk memanfaatkan potensi tersebut, diperlukan konsep pengelolaan yang benar serta pembangunan infrastruktur dengan teknologi terbaik. Sayang sekali, buruknya konsep tata kelola sumber daya air dan lingkungan ini menyebabkan sumber yang berlimpah tidak memberikan manfaat besar bagi rakyat secara menyeluruh.
Buruknya pengurusan negara juga terlihat dari ketidaktegasan sikap pemerintah terhadap tindakan perusakan lingkungan yang terus terjadi. Terjadi kerusakan pada sumber air baku permukaan (seperti sungai, danau, waduk) akibat pembuangan limbah industri yang masif, maupun perusakan berupa deforestasi dan perubahan tata guna lahan yang memicu peningkatan intensitas kekeringan.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan banyaknya laju deforestasi bertanggung jawab terhadap ketidakseimbangan dan perubahan iklim yang berakibat merusak keseimbangan siklus hidrologi. Pada akhirnya berdampak pada krisis air bersih yang makin parah.
Dalam Islam negara wajib menjadi pengurus rakyat dengan cara terbaik, termasuk mitigasi menyeluruh terhadap bahaya kekeringan dan langkah tindak lanjut agar rakyat tidak terancam berbagai bahaya.
Solusi hakiki yang bisa diharapkan hanyalah solusi yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah saw., yakni syariat Islam. Sebagai agama dan ideologi, Islam memiliki konsep unggul dan paripurna di seluruh aspek kehidupan. Apalagi sejumlah kebijakan pemerintah selama ini hanyalah tindakan jangka pendek yang tidak benar-benar menyelesaikan masalah sampai ke akarnya.
Rasulullah saw. bersabda,
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk itu, pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyelesaikan seluruh kesulitan mereka. Tanggung jawab dalam mengatasi kesulitan air, mulai dari membiayai risetnya, pengembangan teknologi, hingga pengimplementasiannya.
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»
“Janganlah memberikan kemudharatan pada diri sendiri, dan jangan pula memudharatkan orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Sebaliknya, pemerintah harus menggunakan prinsip-prinsip yang sesuai syariat Islam dimana pembangunan dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan tetap memperhatikan karakter alamiah alam sehingga keselamatannya tetap terjaga. Jika pembangunan dijalankan di atas prinsip syariat, pasti akan membawa maslahat.
Di sisi lain, pemerintah Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam secara kaffah termasuk dalam pengelolaan harta. Karena sesungguhnya air termasuk harta milik publik sebagaimana halnya energi, hutan, laut, sungai, dan sebagainya. Negara hanya bertindak sebagai pengelolanya sampai bisa dinikmati oleh rakyat. Prinsip pengelolaan ini bersifat untuk pelayanan bukan berbisnis.
Dengan menggunakan paradigma dan prinsip pengelolaan sumber daya air dan lingkungan sesuai Islam, ditambah peran politik negara yang sahih, sumber daya air berlimpah yang dianugerahkan Allah akan termanfaatkan secara optimal dan kebutuhan rakyat pun akan terpenuhi. Wallahualam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google