Oleh: Hexa Hidayat, S.E.
Beras merupakan makanan pokok penduduk negeri ini. Namun, beberapa hari ini beras mengalami lonjakan harga yang sangat signifikan. Panel Harga Badan Pangan menunjukkan, harga beras medium naik Rp20 menjadi Rp 12.280 per kg dan beras premium naik Rp40 menjadi Rp13.960 per kg. Harga tersebut adalah rata-rata harian nasional di tingkat pedagang eceran. Jadi, secara rata-rata bulanan, harga beras medium di tingkat pedagang eceran pada bulan Agustus 2023 tercatat di Rp12.060 per kg, padahal setahun lalu masih di Rp10.780 per kg. (CNBC Indonesia, 30/08/2023)
Kenaikan harga beras bukan hanya terjadi kali ini saja. Namun kasus ini sudah terjadi berulang kali sepanjang tahun. Penyebabnya beragam, salah satunya karena perubahan iklim yang diperparah dengan El Nino. Belum lagi, sejak bulan Juli yang lalu Pemerintah India melarang ekspor beras non-basmati. Sehingga membuat harga beras secara global mengalami kenaikan, mengingat India merupakan Negara pengekspor beras terbesar di dunia.
Dalam hal ini ada dua penyebab kenaikan harga beras saat ini, khususnya di Indonesia. Pertama, adanya fenomena El Nino, yaitu fenomena cuaca yang terjadi akibat peningkatan suhu permukaan air yang menjadi lebih hangat dari sebelumnya. Hal ini bisa menyebakan kekeringan yang berimbas kepada penurunan produksi padi. El Nino ini sendiri biasa terjadi setiap tahun berkisar antara bulan Agustus-September. Adapun faktor kedua adalah larangan India untuk mengekspor beras yang menyebabkan keguncangan di pasar global, karena India sendiri adalah penyumbang 40% dari total ekspor beras global pada 2022-2023.
Butuh Tindakan Preventif
Tentu saja, kondisi kenaikan harga beras ini tidak bisa dianggap sepele. Ini bisa berefek terhadap kenaikan bahan-bahan pokok yang lainnya, sehingga dikhawatirkan akan memicu inflasi pangan. Pemerintah harus waspada terhadap hal ini, dan harus segera mengambil tindakan. Apalagi ini penyebabnya sudah biasa terjadi setiap tahunnya. Contohnya fenomena El Nino ini adalah kondisi yang bisa diprediksi, terus berulang namun tidak ada tindakan pencegahan. Ibarat pepatah, sedia payung sebelum hujan.
Kemudian harga beras yang masih dipengaruhi oleh situasi ekonomi global, menunjukkan belum ada kedaulatan pangan di negeri ini. Pasokan pangan masih bergantung kepada supply dari negara lain. Padahal, Indonesia sendiri negeri subur yang seharusnya bisa mandiri secara pangan. Artinya ada kesalahan dalam tata kelola pertanian di negeri ini yang menganut konsep kapitalisme neoliberal.
Kapitalisme neoliberal menjadikan pangan hanya sebagai komoditas ekonomi saja. Sehingga pengadaan pangan diukur dari sisi untung dan rugi. Apalagi ketika terjadi kekurangan stok beras, maka negara mengambil tindakan mengimpor beras. Padahal kemandirian pangan adalah kemandirian suatu negara. Harusnya negara paham dengan visi ini. Tapi dalam sistem hari ini, negara hanya sebagai fasilitator dan regulator sehingga menyerahkan penguasaan pangan kepada korporasi-korporasi besar, yang mengakibatkan terjadinya gurita korporasi di sektor pertanian.
Para korporasi senantiasa mengendalikan harga benih, pupuk, bahkan alat-alat produksi pertanian. Sehingga, para petani kesulitan untuk mengaksesnya dengan murah dan mudah. Bahkan pada aspek distribusi pun negara tidak mampu untuk mengurusnya. Sehingga yang terjadi banyaknya mafia, kartel pangan bahkan akan terjadi penimbunan pangan. Kelalaian inilah yang membuat konsumen, dalam hal ini rakyat akan semakin sulit karena harga pangan termasuk beras semakin tidak terjangkau. Karenanya harga pangan yang masih dipengaruhi situasi politik dan ekonomi internasional tidak akan pernah tuntas apabila pemerintah masih menggunakan konsep kapitalisme neoliberal.
Solusi Tuntas Memperkokoh Ketahanan Pangan
Dalam Islam, negara harus benar-benar hadir dalam mengurusi rakyatnya. Apalagi menyangkut kebutuhan pokok rakyat.Karena enam kebutuhan pokok dan dasar harus dijamin oleh negara, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, Kesehatan dan keamanan. Visi besar negara dalam hal mandiri pangan harus diwujudkan secara optimal. Sehingga tidak boleh dipengaruhi oleh negara manapun. Tata kelola pertanian harus dilakukan melalui konsep Islam yang distandarkan dengan hukum syariat. Adapun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah nantinya adalah melalui sektor hulu dan hilir.
Pada sektor hulu kebijakan diambil untuk meningkatkan produksi pertanian dengan menyediakan bibit unggul, pupuk, obat-obatan. Maka Pemerintah harus menyediakan sarana penunjang produksi itu dengan mudah dan murah. Kemudian Pemerintah juga akan meningkatkan perluasan lahan pertanian dengan jalan menghidupkan lahan yang mati (ihyaul mawat) dan memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada rakyat yang mampu mengelolanya.
Adapun fenomena El Nino akan mudah diatasi dengan menghadirkan para pakar dan ilmuwan untuk mengkaji dan mencegah dampak kekeringan setiap tahunnya dengan teknologi yang muktahir. Hal tersebut hanya bisa diwujudkan apabila paradigma yang dihadirkan untuk mengurusi kemandirian negara berasaskan kepada pelayanan, bukan untung rugi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari). Sehingga, negara haruslah mempunyai visi menyejahterakan rakyat sebagai tanggungjawabnya di hadapan Allah swt. di yaumil akhir. Wallahu’alam bishawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google