View Full Version
Rabu, 22 May 2024

Pilkada dalam Sistem Islam vs Kapitalisme

 

Oleh: Umi Hanifah

Gaung pertarungan untuk mendapatkan kursi kepala daerah sudah dimulai. Riuh terdengar para calon untuk mendaftar dan lobi sana-sini. Sudah puluhan kali pilkada digelar. Pertanyaannya, akankah nasib rakyat bisa sejahtera?

Sebelumnya harus kita ketahui, perbedaan pilkada dalam sistem Islam dan sistem Kapitalisme.

Fakta pilkada dalam sistem Kapitalisme:

Pertama, siapa saja bisa menjadi pemimpin sekalipun tidak punya kemampuan dalam menjalankannya. Yang lebih miris lagi, antara pemabuk, ulama, intelektual, dokter, guru, artis dan siapa saja tidak ada persoalan, asal bisa memenuhi syarat pencalonan maka berpeluang sama mendapatkan jatah kekuasaan.

Kedua, kursi kekuasaan akan didapat karena suara. Semakin banyak suara maka berpeluang besar memenangkannya. Mereka akan melakukan apa saja demi memburu suara tanpa melihat baik atau buruk, beretika atau tidak. Menyumbang masjid, sowan kyai, bagi-bagi sembako, salawatan bersama, memperbaiki jalan, joget bersama, pengobatan gratis dan lainnya. Mereka berharap mendapat simpati dan masyarakat memberikan suaranya.

Namun bukan rahasia lagi, mereka mendekati masyarakat ketika ada hajat. Setelah meraih jabatan entahlah kemana mereka ketika rakyat kelaparan, harga berbagai kebutuhan melonjak, listrik mahal dan sebagainya.

Ketiga, harus ada modal yang besar dalam meraih kursi kekuasaan. Karena suara yang bisa menghantarkan pada jabatan, maka suara masyarakat dibeli dengan berbagai bantuan di atas serta adanya serangan fajar Rp 20.000 atau Rp 50.000 per kepala adalah hal wajar. Di sinilah oligarki yang sebenarnya berkuasa, para calon perlu modal dan ini bisa didapatkan dari bantuan mereka.

Wajar korupsi tiada henti dalam kapitalisme dengan nilai fantastis. Bila gaji yang didapat tidak bisa menutup modal pencalonan, maka jalan pintas untuk mendapatkannya adalah dengan korupsi.

Keempat, dinasti politik adalah cara efektif mendapatkan kekuasaan. Ketika bapaknya pejabat maka akan mudah anaknya meraih kursi yang sama. Mereka akan membuat berbagai pencitraan bahkan aturan yang bisa meloloskan keluarganya berkuasa.

Sedangkan pilkada dalam sistem Islam dengan langkah sebagai berikut:

Pertama, dalam sistem Islam pemimpin daerah atau amil akan dipilih orang yang bertaqwa sekaligus yang punya kemampuan memimpin. Jabatan adalah amanah berat dan besar sehingga harus diemban oleh orang jujur, adil, kuat dan berani mengambil keputusan. Pemimpin adalah pengurus keperluan rakyat, bukan sekedar ada kemauan.

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim].

Keperluan masyarakat berupa sandang, pangan, papan adalah hak rakyat dan kewajiban negara menyediakan dengan harga murah bahkan gratis. Sumber pendapatan negara salah satunya dari sumber daya alam yang tidak boleh di serahkan ke swasta. Negaralah pihak yang berwenang mengolah dan hasilnya dibuat melayani hajat warganya.

Kedua, tidak perlu modal sepeser pun karena kepala daerah/amil langsung di tunjuk oleh kepala negara. Sebagaimana Rosulullah saw pernah memilih Anas bin Malik sebagai menjadi amil di Bahrain. Hal tersebut menutup pintu kongkalingkong pengusaha dan calon pejabat. Karena jabatan adalah amanah bukan prestise, apalagi jalan pintas cari kekayaan.

Ketiga, tidak akan ada dinasti politik karena setiap amanah adalah didasarkan pada syariat bukan maslahat. Jabatan harus diberikan kepada ahlinya, karena akan terjadi kehancuran jika di jalankan oleh selainnya.

Dengan perbedaan yang sangat mencolok diatas, pilkada dalam sistem islam menghantarkan pemimpin yang adil,  amanah, dan kehidupan masyarakat sejahtera. Sebaliknya pilkada dalam sistem kapitalisme hanya menguntungkan pemodal, keluarga dan koleganya namun rakyat tetap hidup susah. Allahu a’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version