Oleh: Aily Natasya
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), sudah waktunya para politikus yang hendak mencalonkan diri mengkampanyekan citranya di berbagai kesempatan agar dapat dikenal dan diperhatikan oleh rakyat. Dari segala macam teknik pemasaran dilakukan, seperti mulai dari datang ke acara TV, podcast YouTube, Live TikTok, diskusi, hingga taktik culas seperti bagi-bagi sembako, uang, dan propaganda antar lawan.
Namun, ada satu hal yang dilupakan oleh para politikus yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah ini, di era digital ini, yakni jejak digital. Terciduk beberapa calon kepala daerah yang jejak digitalnya sangat buruk bahkan tidak senonoh, seperti candaan receh yang tidak bermanfaat, sampai dengan pelecehan seksual secara verbal.
Benar adanya bahwa jejak-jejak tersebut diunggah dari tahun yang sangat lama sekali, bahkan sebelum mereka terjun ke dalam dunia politik. Namun justru inilah yang dijadikan acuan bagi masyarakat dalam menilai karakter dan juga pola pikir para calon kepala daerah tersebut. Dengan segala jejak digital itu, masyarakat jadi tahu dan menyimpulkan bahwa calon kepala daerah tahun ini sangatlah kacau dengan pola pikir yang mesum dan tidak kritis.
Jika memikirkan soal apakah mereka bisa dipercaya untuk mengemban amanah untuk menjadi kepala daerah, maka jawabannya adalah TIDAK jika merujuk pada pola pikir mereka yang kosong dan mesum tersebut. Jika mereka adalah bapak-bapak Facebook biasa, hal ini tidak akan dipermasalahkan sedemikian ini. Namun berhubung mereka adalah orang-orang yang akan bertanggung jawab atas Indonesia, maka hal ini adalah hal yang besar.
Di dalam dunia kerja saat ini, jejak digital menjadi penilaian yang dipertimbangkan oleh perusahaan agar dapat mempermudah seleksi untuk mendapatkan karyawan yang tidak hanya kompeten, namun memiliki kepribadian dan kebiasaan yang baik. Dan jejak digital adalah salah satu cara untuk mengetahui kepribadian dan kebiasaan tersebut. Khususnya Gen-Z, generasi yang menjadi bintang utama era ini, yang tidak mungkin lepas dari hal-hal yang berbau digital.
Itu dalam dunia kerja korporat. Lantas ini, orang yang akan mengemban tanggung jawab yang jauh lebih besar, dengan jejak digital yang sebegitu menjijikkannya, bagaimana bisa rakyat bisa menentukan calon pemimpin yang buruk dari yang terburuk? Padahal Indonesia tidak kekurangan orang yang cerdas dan berakhlak. Namun entah mengapa selalu saja orang-orang yang tidak berkemampuan dan tidak berpotensi yang diberi kursi. Konon katanya negara demokrasi, namun kita dibatasi soal memilih pemimpin.
Kita menginginkan pemimpin A, namun pilihan yang disediakan hanya B, C, dan D. Yang memiliki potensi dan kemampuan si A, akan tetapi B, C, dan D-lah yang diberi kesempatan. Tentu saja ini permainan elit yang memang sengaja memilih orang-orang yang berkualitas rendah untuk menjadi pemimpin di negeri ini agar mudah disuap dan dirayu. Benarkah hal semacam itu nyata? Percaya atau tidak, sebuah kenyataan pahit, begitulah tujuan dari demokrasi diterapkan.
Semoga kita segera beralih ke sistem yang lebih baik, yan tidak mudah dimanipulasi atau pun dimonopoli. Sehingga yang memegang kekuasaan bukanlah orang yang hanya memiliki kepentingan untuk mendapatkan uang dan jabatan, tapi benar-benar orang yang mau mengemban amanah tersebut karena Allah dan demi kesejahteraan rakyat.
Dan bagi kita, jangan sampai meremehkan apa-apa yang kita unggah di sosial media. Unggahlah yang bermanfaat dan yang tidak menimbulkan dosa bagi diri sendiri dan kerugian bagi orang lain. Manfaatkan sosial media dengan sebaik-baiknya, arahkan dan gunakan untuk hal-hal baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, dan orang lain. Wallahua’lam. (rfvoa-islam.com)
Ilustrasi: Google