Oleh: Aily Natasya
Jelang pelantikan presiden, portal-portal berita sibuk membicarakan soal kursi menteri yang akan bertambah. Ketika kampanye pun, hal ini sudah disuarakan oleh beliau sendiri. Dan kepastiannya pun semakin jelas bahwa kursi menteri di kabinet beliau akan benar-benar bertambah menjadi sekitar 40 menteri. Partai-partai politik pun berharap mendapatkan jatah tersebut, khususnya orang-orang dan partai politik yang sempat mendukungnya semasa kampanye pemilu kemarin.
Dalam dunia demokrasi, bagi-bagi kue selamatan setelah meraih jabatan bukanlah hal yang baru. Namun tentu saja kue ini tidak akan dibagikan kepada rakyat biasa tapi kepada mereka-mereka dari kalangan elit yang mendukung penuh kampanye dari segi akomodasi dan koneksi. Maka tak heran jika setelah dilantik, rebutan kue adalah hal yang wajar.
Untuk membagi agar semua rata mendapatkan yang sudah dijanjikan, maka tentu saja harus ada banyak kursi jabatan yang perlu disediakan. Walaupun faktanya kursi tersebut mungkin tidak memiliki andil apa-apa bagi rakyat. Toh, buktinya selama ini juga ada banyak sekali menteri di kabinet tapi sama sekali tidak membawa rakyat Indonesia ke kehidupan yang lebih sejahtera, justru sebaliknya.
Saat ini ekonomi Indonesia sedang menurun lantaran daya beli masyarakat yang menurun, ditambah dengan banyaknya PHK dan juga judi online. Apa tindakan menteri-menteri kita sejauh ini dalam menghadapi krisis tersebut? Pun soal judi online, Keminfo kita tidak melakukan tindakan apa-apa sejak kemarin. Padahal dampak judi online terhadap kesejahteraan ekonomi negara dan masyarakat sudah sangat darurat. Mengurus data pribadi rakyat saja bisa sampai bocor akibat kecerobohan menteri-menteri kita tempo hari.
Pendidikan. Ini adalah aspek paling penting bagi negara dan juga masyarakat. Dari dulu hingga sekarang, apakah menteri kita sudah benar dalam menerapkan kurikulum? Sedangkan sekarang saja, kurikulum merdeka, juga dibuktikan gagal. Ada banyak anak yang putus sekolah, atau tidak melanjutkan keperguruan tinggi akibat minat belajar yang menurun dan UKT yang terus naik. Dan solusi-solusi yang diberikan sejauh ini pun tidak ada yang benar-benar memberikan hasil yang positif.
Selain dua itu, masih ada banyak lagi permasalahan di Indonesia yang belum terpecahkan. Dan menteri-menteri kita banyak yang tidak berhasil dalam menanganinya. Apa sebabnya? Ada banyak sekali faktor, namun salah satunya dan yang masih terus terjadi yang mana ini ada kaitannya dengan politik bagi-bagi kue adalah menteri-menteri yang dipilih bukanlah orang-orang yang benar-benar ahli di bidangnya.
Seperti contohnya, Nadiem Makarim yang seorang pebisnis, dipilih menjadi Menteri Pendidikan. Budi Arie Setiadi, yang jika dilihat dari portofolionya, beliau lulusan Ilmu Sosial, namun menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Maka tak heran jika kedua menteri ini tidak paham dengan konflik yang terjadi di masyarakat, sehingga tidak bisa memberikan solusi yang terbaik.
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Ada banyak lagi menteri-menteri yang semacam ini mengisi yang mengisi kursi pemerintahan. Beginilah dampak dari politik bagi-bagi kue dalam dunia demokrasi. Para pejabat yang berhasil dilantik akan memenuhi janji-janji mereka tatkala kampanye pada orang-orang elit politik ini, namun langsung lupa dengan janji-janji mereka tatkala kampanye pada rakyat.
Sampai kapankah sistem yang memiliki banyak disfungsi ini akan berakhir? Tidak adakah yang menginginkan sistem yang lebih baik untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik? Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google