View Full Version
Senin, 04 May 2020

Agar Lisan Terjaga Saat Puasa, Sibukkan Dengan Dzikir!

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam.  Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Lisan memiliki ikut menentukan kesempurnaan ibadah shiyam. Karenanya, kesuksesan seseorang mengendalikan lisan akan membantunya mendapat pahala besar saat shiyam. Yaitu menyibukkan lisan dengan tilawah, dzikir, istighfar, dan tutur kata baik. Atau diam dari perkataan bati dan buruk.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau (jika tidak bisa) hendaknya ia diam.” (Muttafaq 'Alaih)

Fadhilah Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam Al-Mulakhkhash al-Fiqhi (1/385) menuturkan bahwa para ulama salaf, saat mereka berpuasa, mereka lebih banyak duduk di masjid. Mereka berkata, “kami menjaga puasa kami agar kami tidak menggunjing seseorang.”

Ini di dasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

 مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya maka Allah tidak butuh kepada ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud)

Qaul Al-Zuur adalah perkataan yang menyimpang dari kebenaran dan condong kepada kebatilan. Masuk di dalamnya setiap perkataan haram. Misalnya: bohong, ghibah (menggunjing), adu domba, kesaksian palsu, mencaci, mencela, dan semisalnya.

Sebenarnya, perkataan Zuur diharamkan di mana saja dan kapan saja. Tetapi semakin tegas larangannya dan semakin besar dosanya apabila dikerjakan pada waktu-waktu utama seperti Ramadhan, dan di tempat yang mulia seperti di dua tanah haram, dan pada kondisi yang utama seperti shiyam.

Jadi, perbuatan lisan punya pengaruh yang sangat besar terhadap kegiatan puasa kita. Bahkan sebagian ulama menyebutkan, apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang melaksanakan puasa maka puasanya akan berkurang makna dan pahalanya. Puasanya menjadi tidak sempurna. Walaupun tetap sah puasa yang ia kerjakan dan tak perlu mengulanginya lagi.

Ada sebagian ulama yang memahami makna “maka Allah tidak butuh kepada ia meninggalkan makanan dan minumannya,” bahwa ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Ibnul Munir dalam Hasyiyah-nya menyebutkan bahwa ini adalah kinayah (kiasan) puasanya tidak diterima. Pendapat lainnya mengatakan, “Puasa yang tercampur dengan al-Zuur tertolak. Sebagian yang lain mengatakan, puasa semacam ini tidak mendapat keridhaan Allah yang menyebabkan diterima puasa.

Ibnul ‘Arabi berkata: tuntutan hadits ini bawha orang yang mengerjakan apa-apa yang telah disebutkan maka tidak diberi pahala atas puasanya.” Maknanya: Pahala orang yang berpuasa tidak sebanding dengan dosa zuur (dusta dan semisalnya) dan yang disebutkan bersamanya.

Bukanlah maksud disyariatkan puasa itu hanya merasakan lapar dan haus, tapi juga menahan syahwat, dan menundukkan nafs amarah kepada nafs muthmainah. Puasa juga sebagai moment untuk membina diri, memuliakan akhlak, dan membaguskan tabiat. Jika tidak bisa demikian maka Allah tidak akan menerima ibadah shiyam tersebut.

Oleh sebab itu, orang yang sedang berpuasa wajib menjaga lisannya. Jangan sampai keluar dari lisannya kecuali yang baik-baik dan mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala seperti membaca kalam-Nya (Al-Qur'an), zikir, doa, menasihati kepada kebenaran, mencegah dari kemungkaran, bertutur kata yang lembut kepada orang lain, tidak emosi dengan kalimat-kalimat kemarahan dan selainnya.

Syaikh Fauzan dalam al-Mulakhkhash al-Fiqhi (1/385) di bab Mufsidat al-Shaum (perusak-perusak puasa), setelah menjelaskan pembatal-pembatal puasa,  

وينبغي للصائم أن يشتغل بذكر الله وتلاوة القرآن والإكثار من النوافل

Dan hendaknya orang yang berpuasa menyibukkan diri dengan dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, dan amal-amal sunnah.

Kenapa Dzikir?

Dzikirullah adalah amal lisan yang ringan namun berpahala besar.Lebih-lebih di bulan Ramadhan yang penuh berkah saat puasa. Dzikrullah akan bertambah keutamaan dan semakin besar pahalanya.

Muhammad az-Zuhri Rahimahullah berkata, “Satu kali bacaan tasbih di bulan Ramadhan lebih afdhal dibandingkan seribu tasbih di waktu yang lain.” (Mausu’ah Ibnu Abi Dunya, 1/368)

Berdzikir tidak butuh tenaga besar dan biaya banyak. Setiap orang bisa mengerjakannya dalam kondisi apapun juga; baik saat lapang atau sibuk, sehat atau sakit, kaya atau miskin.

Memperbanyak dzikrullah akan bisa memalingkan seseorang dari perkataan-perkataan yang membahayakan, sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Al-Wabil al-Shayyib.

Di antara kalimat dizkir tersebut adalah:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

سُبْحَانَ اللَّهِ ، وبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

لا إلهَ إلاَّ اللَّه وحْدهُ لاَ شَرِيكَ لهُ، لَهُ المُلْكُ، ولَهُ الحمْدُ، وَهُو عَلَى كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيهِ

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ غُفِرَ لَهُ

Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

 

 

  


latestnews

View Full Version