View Full Version
Rabu, 23 Oct 2019

Sertifikat Halal, Efek Makanan Halal kian Langka?

 

Oleh : Widya Tantina

Tak mudah memenuhi kebutuhan hidup hari ini, terutama makanan. Sudahlah harga bahan pokok tidak stabil, diperparah pula dengan tertebaran makanan yang tak jelas status halalnya. Bahkan, sejak 17 Oktober 2019 lalu Kemenag resmi mencabut wewenang MUI untuk menerbitkan sertifikat halal terhadap beberapa produk makanan. Dan kewenangan itu kemudian diambilkan kepada BJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal). Di bawah  

Ini berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), seluruh produk yang ada di Indonesia wajib bersertifikat halal, yang UU ini dahulu disahkan ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat.

Meski Menag, Luqman Hakim,  mengabarkan bahwa MUI masih punya peranan dalam sertifikasi halal ini, namun tidak menutup kemungkinan akan banyak ditemui hambatan. Karena, sertifikat halal yang dikeluarkan BPJPH belumlah diakui Emirate Authority for Standardization and Metrology (ESMA). Hal ini berbanding terbalik dengan sertifikat halal MUI dengan LPPOM sebagai lembaga pemeriksa kehalalannya sudah diakui ESMA. Sehingga Indonesia bisa melakukan ekspor dan impor berbagai macam produk makanannya, dan aman dipasarkan di negeri sendiri. (Republika, 19/10/2019)

Bisa dibayangkan, ketika kehalalan produk dan yang Impor, khususnya, masih diragukan dan belum terurus dengan sempurna. Ditambah lagi dengan adanya tantangan bahwa sertifikat halal itu berbayar, dan melalui prosedur yang tidak mudah. Mustahil para produsen kecil bisa memenuhinya Maka, akan kian langka produk halal yang kita dapati. Dan habislah umat ini dicekoki makanan syubhat, bahkan haram.

Islam Hadir Membersihkan “kotoran” dalam Makanan

Islam, adalah agama sempurna yang Allah siapkan untuk ditaati manusia dalam kehidupannya. Paripurna da Detail aturannya, demikian pula soal makanan. Allah memerintahkan manusia untuk hanya mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thoyyib. Supaya terhindar dari kerusakan tubuh dan lingkungan. Dan yang paling penting adalah, Allah hanya akan menerima ibadah kita jika apa yang kita konsumsi hanyalah yang halal dan thoyyib di mata syariat.

Bagi seorang muslim, makanan dan minuman menjadi hal yang urgent. Bukan soal enak dan nikmatnya, namun soal halal dan haramnya. Karena makanan dan minuman dan hasil nafkah dari yang haram sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan, bahkan untuk kehidupan akhirat setelah kematiannya. Baik pada terkabulnya do’a, amalan sholehnya dan kesehatan dirinya. Karenanya, butuh jaminan serius dari negara akan halal dan thoyyibnya sebuah produk yang akan dikonsumsi umat.

Sebagaimana yang dilakukan Ibunda imam Syafi’i terhadapnya ketika kecil. Begitu cinta dan menjaganya beliau terhadap asupan makanan dan minuman putranya, sampai ia harus mencari dan membuat sendiri makanannya. Bahkan pernah satu waktu, beliau harus memuntahkan air susu tetangganya yang disusukan kepada bayi imam Syafi’i yang menangis ketika ia tinggal pergi keluar rumah. Demi menjaga darah dagingnya bersih dari asupan syubhat.

Dan saat ini, perburuan makanan dan minuman halal dan thoyyib kian berat. Karena menyediakan prosedur yang tak mudah dan berbayar untuk memenuhinya.

Sejatinya, persoalannya bukan pada bisa tidaknya produsen mengantongi sertifikat halal dari pemerintah. Tapi bagaimana negara mendidik umat dan para produsen untuk selalu taat pada syariat, takut kepada Allah, dan mendorong mereka untuk hanya mau memproduksi makanan, minuman, dan obat-obatan yang halal dan thoyyib saja.

Kemudian juga, tentang bagaimana negara menyediakan bahan dan fasilitas yang terjangkau untuk produsen. Tidak mempersulit mereka dengan mahalnya bahan baku, sehingga harus  mengantarkan mereka pada perbuatan curang. Misal, karena daging sapi mahal maka diganti dengan daging babi untuk membuat makanan olahan daging.

Tidak bergantung pada pihak asing untuk memenuhi kebutuhan konsumsi umat. Membatasi, bahkan meniadakan impor makanan dan minuman dari negeri kufur yang jelas memiliki standard berbeda dengan kita soal makanan dan minuman, bahkan yang tak mengenal halal dan haram.

Negara harus mensupport penuh penelitian farmasi agar dihasilkan obat-obatan yang tak lagi menggunakan ataupun terkontaminasi bahan haram dan syubhat.

Dengan kebijakan tersebut, masyarakat akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Pada akhirnya terwujudlah masyarakat yang sehat, suasana keimanan pun terjaga karena tubuh masyarakat terjaga dari barang haram dan syubhat. Wallahua’lam bisshowab. (rf/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version