View Full Version
Senin, 09 Dec 2019

Solusi Menuju Bebas HIV/ AIDS tahun 2030, Mungkinkah?

 

Oleh: Aliyah Kharomah STr. Batra*

Baru saja dunia memperingati hari AIDS sedunia yang jatuh setiap 1 Desember. Meski diperingati setiap tahunnya, HIV/ AIDS masih menjadi ihwal yang tak kunjung titik. Indonesia tak luput dari irisan global dunia untuk masalah HIV/ AIDSnya. Situasi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang mendekati angka setengah juta atau 500.000 yaitu 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS. Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 640.443. Dengan demikian yang baru terdeteksi sebesar 60,70 persen. Itu artinya ada 290.561 warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. 

HIV/ AIDS menjadi mimpi buruk kesehatan dunia. Pasalnya, penyakit ini menjadi endemi yang merenggut produktifitas manusia dan kehidupan mereka. Pada tahun 2018, untuk pertama kalinya, orang-orang dari kelompok populasi kunci dan pasangan seksualnya menyumbang lebih dari setengah dari semua infeksi HIV baru secara global (diperkirakan 54%) pada tahun 2018. Populasi kunci meliputi: pria yang berhubungan seks dengan pria; orang yang menyuntikkan narkoba; orang-orang di penjara dan pengaturan tertutup lainnya; pekerja seks dan klien mereka; dan orang-orang transgender.

Upaya Menanggulangi HIV/AIDS

Dunia melalui WHO berupaya mengakhiri epidemi virus HIV/ AIDS dengan mentargetkan Three Zero pada 2030 antara lain tidak ada lagi ada penularan infeksi baru HIV, kematian akibat AIDS, dan stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dengan demikian dunia bebas epidemi HIV/AIDS.

Melalui tema besar nasional “Bersama Masyarakat Meraih Sukses!”, pemerintah menterjemahkan target tersebut dengan beberapa kebijakan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah sejak 2017 dengan strategi Fast Track 90-90-90 yang meliputi percepatan pencapaian 90 persen orang mengetahui status HIV melalui tes atau deteksi dini, 90 persen dari ODHA yang mengetahui status HIV memulai terapi ARV, dan 90 persen ODHA dalam terapi ARV berhasil menekan jumlah virus sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV, serta tidak ada lagi stigma dan diskriminasi.

Dalam mencapai target tersebut, Kemenkes menerapkan strategi akselerasi Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan (STOP). Suluh dilaksanakan melalui edukasi masyarakat paham HIV, Temukan dilakukan melalui percepatan tes dini, sehingga ODHA tahu statusnya, Obati dilakukan agar ODHA segera mendapat terapi ARV, Pertahankan ODHA yang menggunakan ART (Antiretroviral Therapy) tidak terdeteksi virusnya.

Tentu saja strategi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Track record politik pemerintah dewasa ini, minimnya anggaran pemerintah untuk kesehatan dan banyaknya mafia obat Antiretroviral menjadi salah satu kendalanya.

Pertanyaannya, benarkah rencana strategi pemerintah tersebut berhasil untuk menghilangkan endemi HIV/ AIDS pada tahun 2030? Atau strategi itu justru hanya strategi yang tambal sulam?

Melihat Fakta Upaya Pencegahan HIV/AIDS

Di tengah mind set kapitalis yang diadopsi negara ini, benarkah pemerintah ingin mengakhiri permasalahan HIV/ AIDS? Tentu saja sebuah keharusan bagi pemerintah untuk mengurusi masyarakat terutama penderita ODHA untuk mendapatkan penyuluhan, deteksi dini hingga mendapatkan pelayanan pengobatan yang terbaik. Namun apakah itu berjalan dengan baik jika sistem kesehatan kita yang amburadul dan BPJS yang selalu defisit. Apalagi banyak ODHA dan ADHA yang tak tersentuh terapi ARV.

Melihat kefektifitasan ARV sendiri dalam menuntaskan permasalahan HIV/ AIDS. Faktanya, ARV tidak menyembuhkan namun hanya menekan sampai virus tak tterdeteksi. Dengan catatan, ODHA harus mengkonsumsinya seumur hidup.

Belum lagi bicara monopoli harga ARV. Putaran bisnis ARV memang besar. Seperti yang dilansir dari tirto.id, estimasi ODHA pada tahun 2016 sebanyak 640.443, sedangkan yang dilaporkan sampai juni 2019 sebanyak 349.882 atau sebesar 60,7 persen. Dan sifat ARV yang harus dikonsumsi seumur hidup. Ini menjadikan ARV jadi bisnis yang menjanjikan. FDC TLE diproduksi perusahaan farmasi di India. Pemasarannya di Indonesia dilakukan secara tunggal oleh PT Kimia Farma. Selama ini Kimia Farma menjualnya dengan harga Rp. 404.370 sementara Indofarma Global Medika dengan harga Rp. 385.000/ paket. Padahal obat ini di 0pasaran internasional hanya berkisar Rp. 112.000. Berdasarkan hitungan yang dilakukan IAC tahun 2016. Seharusnya harga ARV hanya berkisar Rp. 175.000 di pasaran. Artinya , keuntungan yang mereka ambil jauh lebih besar dari harga obat.

Selama ini pemerintah juga tidak banyak menganggarkan dana untuk pengadaan ARV. Pada 2016, anggaran pengadaan ARV mencapai Rp 826 juta. Namun, di 2018, anggaran gagal keluar karena lelang terbatas batal. Sementara itu belum semua yang terdiagnosis HIV mendapat terapi ARV. Baru sekitar 70 persen ODHA pernah mendapatkannya. Tetapi, hanya 33 persen yang rutin menerima pengobatan ARV. Penanggulangan HIV/ AIDS juga terganjal. Karena banyaknya ODHA yang putus obat. Yakni sekitar 23 persen angkanya.

Ini hanya solusi sesaat dan solusi yang tidak menyentuh akar masalah. Sesungguhnya akar masalah dari penyakit ini adalah seks bebas itu sendiri. Pekerja seks, perilaku seks menyimpang dan pengguna narkoba penyumbang terbesar endemi HIV/ AIDS. Sedang Indonesia mengadopsi sistem liberal buatan manusia. Dengan itu, manusia dibicarakan bebas berperilaku. Tak ada aturan yang menjerat para pelaku seks bebas, perilaku seks menyimpang dan penyalahgunaan narkoba. Mereka justru diberi ajang dan sikap terhormat. Mereka pun tak boleh didiskriminasi.

Selain itu, paradigma sekuler kapitalis yang menjangkit di negeri ini menjadi latar belakang dibukanya kran monopoli dagang obat ARV. Sehingga alih-alih ODHA dapat menerima obat secara gratis. ARV justru menjadi alat khusus untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Melihat fakta tersebut, pesimis kiranya mencapai target three zero di 2030, khususnya Indonesia.

Ambil Islam untuk Solusi Tuntas 

Hendaknya, pemerintah Indonesia kembali merujuk pada solusi yang diberikan oleh Islam. Yakni dengan menerapkan aturan-aturan ilahi tanpa pilih-pilih. Menerapkan hukum hudud bagi pelaku seks bebas dan seks menyimpang untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Menghapuskan pemain monopoli dagang ibarat ARV, mengembalikan pemahaman kesehatan yakni sebanyak-banya untuk melayani masyarakat, bukan justru mengambil keuntungan. Kemudian memberikan pemahaman aqidah yang kuat agar tak terjerumus ke dalam seks bebas, penyimpangan seksual dan penyalahgunaan narkoba.

Selain itu, Ada dua program solusi inklusif yang dapat dilakukan untuk menuntaskan penularan HIV/ AIDS dalam bingkai Islam. Yaitu, upaya preventif untuk memutus rantai penularan HIV/ AIDS agar virus tak menyebar pada orang-orang sehat. Kedua, upaya kurator yaitu mengobati masyarakat yang terinfeksi HIV/ AIDS.

Upaya preventif yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan perilaku yang liberal menjadi perilaku yang sesuai syariat. Upaya ini penting karena transmisi penyakit HIV/ AIDS berkaitan erat dengan perilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkoba. Oleh karenanya, pencegahannya harus dengan menghilangkan segala bentuk praktek seks bebas dan segala hal yang memfasilitasinya.

Negara harus menerapkan Islam secara kaffah. Mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan sampai pergaulan Islam. Negara juga harus melarang segala aktifitas perzinahan. Yang demikian karena Islam mengharamkan yang demikian ini. Sehingga perilaku seks bebas, seks menyimpang dan penggunaan narkoba bisa diberantas. Menerapkan hukuman yang menjerakan bagi pelaku maksiat. Seperti hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah dan cambuk 100x bagi pezina yang belum menikah.

Upaya kuratif yang dilakukan adalah negara harus mengikuti prinsip-prinsip pengobatan sesuai syariat Islam. Negara wajib memberikan pengobatan gratis bagi ODHA DAN ADHA. Karena kesehatan termasuk kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dijamin pemenuhannya. Sebagaimana sabda Rasul yang artinya “ Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Hanya saja harus dilakukan screening masal terlebih dahulu untuk mengetahui pengidap yang tidak terlihat sebagai HIV positif.

Negara juga wajib menyediakan rumah sakit atau tempat perawatan khusus bagi pasien penderita HIV yang memiliki hak hidup. Dan selama masa perawatan ODHA diisolasi dari orang yang sehat sehingga penularan dapat dicegah. Seperti sabda Rasul

“ Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedang kamu berada dalam negeri itu, janganlah kamu keluar melarikan diri" (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Narasi dari Abdurrahman bin ‘AuAuf)

Hanya saja selama diisolasi (dikarantina), haruslah dipenuhi segala kebutuhan hidup ODHA. Dapat berinteraksi dengan orang-orang tertentu dengan pengawasan. Mereka dijauhkan dari media serta aktivitas yang mampu menularkan. Juga harus diupayakan rehabilitasi mental (keyakinan, merasa kalah dan kesabaran) sehingga mempercepat penyembuhan. Wallahualam bisshowab. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah founder Griya Asy-Syifa

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version