View Full Version
Ahad, 15 Aug 2021

Angka Kematian Dihapus, Harapan Pandemi Tuntas Semakin Pupus?

 

Oleh: Amma Muiza

*(Praktisi Kesehatan)

Akhir-akhir ini, publik dicemaskan dengan langkah "berani" pemerintah menghapus angka kematian dari indikator penentuan level PPKM. Penghapusan angka kematian ini, selain dikhawatirkan menimbulkan rasa aman yang semu, lebih dari itu, hal ini dapat berimbas pada kesalahan pengambilan kebijakan. Ujungnya, pandemi semakin lama bercokol di Indonesia.

Dilansir dari Kompas.com (10/8), Pemerintah resmi menghapus angka kematian pasien Covid-19 dari indikator penentuan level PPKM. Menurut Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi, langkah tersebut ditempuh sebab ditemukan penumpukan input data kematian. Masih menurut Jodi, hal ini dapat menimbulkan bias saat menganalisis situasi pandemi sehingga kesulitan menilai perkembangan situasi di satu daerah.

Dengan adanya keputusan tersebut, maka paling tidak dalam dua pekan ke depan angka kematian tidak jadi pertimbangan dalam mengevaluasi PPKM level 3 dan 4 di sejumlah daerah. Artinya, kelanjutan PPKM setelah 16 Agustus mendatang hanya berdasarkan indikator lain yang meliputi keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate, BOR) di RS rujukan Covid-19, kasus konfirmasi Covid-19, perawatan di RS, tracing, testing dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat.

Sementara itu, para Ahli Epidemiologi menyayangkan keputusan tersebut. Menurut Windhu Purnomo, jumlah kematian harus tetap menjadi pertimbangan dalam pengendalian pandemi. Senada dengan Windhu, Dicky Budiman juga menyatakan tidak semestinya indikator kematian dihilangkan. Sebab angka kematian merupakan indikator valid untuk menilai derajat keparahan situasi wabah.

Fakta Kematian dalam Data

Kebijakan pemerintah  menghilangkan indikator angka kematian sudah sepatutnya menjadi tanda tanya berbagai pihak. Sebab hal ini ditetapkan justru saat kondisi pandemi di Indonesia jauh dari status aman. Setidaknya dalam sepekan terakhir, jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, mencapai 12.054 kematian. Dengan total kasus di Indonesia yang mencapai 3.774.155 dan menyebabkan 113.664 orang meninggal dunia.  Kenaikan kasus selalu diikuti dengan kenaikan angka kematian (12/8).  

Data yang diambil dari Kemenkes (10/8) tampak total kematian di bulan Juli, sebanyak 35.628, meningkat 350% dibandingkan bulan Juni. Bahkan, data yang terhimpun di awal bulan Agustus ini, angka kematian sejumlah 16.500, sudah lebih tinggi dibandingkan kematian di tiap bulan, dari Januari-Juni 2021.

Sementara jika dilihat dari tingkat kematian (Case Fatality Rate, CFR), CFR Indonesia mencapai 2.97%. Hal ini menunjukkan bahwa tiap 100 kasus Covid-19 ada hampir 3 orang meninggal dunia. CFR Indonesia saat ini merupakan yang tertinggi selama 2021, lebih tinggi dari CFR Asia bahkan dunia (Ourworldindata, 10/8).

Indikator Yang Harus Ada

Dengan paparan data kematian yang sedemikian tinggi, semestinya ada upaya serius untuk menurunkan angka kematian ini bukan malah menghapusnya. Keputusan pemerintah untuk menghapus indikator angka kematian ini tidak sesuai dengan kaidah akademis pengendalian pandemi. Hal ini dapat berakibat fatal, sebab kebijakan pengendalian Covid-19 tidak lagi berdasarkan data yang seharusnya. Sehingga perbaikan data Covid-19,  termasuk di dalamnya data kematian, menjadi vital untuk dilakukan.

Angka kematian merupakan salah satu indikator yang sudah semestinya ada dalam setiap pelayanan kesehatan. Dalam terminologi pandemi, keberhasilan pengendalian pandemi sangat berhubungan dengan indikator angka kematian. Semakin tinggi angka kematian berarti sektor hilir penanganan pandemi masih buruk. Sehingga negara harus berupaya melakukan evaluasi dan penanganan pandemi yang lebih baik.

Sektor hulu penanganan pandemi adalah sisi promosi dan pencegahan sementara sektor hilir adalah kemampuan fasilitas kesehatan menangani sisi kuratif. Angka kematian yang rendah akan menjadi bukti perbaikan di sektor hilir penanganan pandemi. Jika indikator tersebut dihilangkan, tentu evaluasi penanganan dan pengendalian pandemi menjadi absurd.

Jika pemerintah bersikeras menghapus angka kematian dengan dalih input data, permasalahan data Covid-19 sebenarnya bukan baru-baru ini terjadi. Tidak hanya kematian, kasus harian Covid-19 juga sebenarnya bertumpuk dan tidak real time. Sejak tahun lalu, persoalan data sudah menjadi masalah yang tidak kunjung usai.

Pertama, data kasus baru hingga kasus kematian akibat Covid-19 disinyalir masih banyak yang under reported. Tersebab lemahnya testing dan tracing di Indonesia. Kedua, sistem pengelolaan data juga belum terintegrasi. Data di situs pemerintah kota/kabupaten, provinsi, dan pemerintah  pusat berbeda. Ketiga, persoalan sumber daya manusia. Masih banyak ditemukan di beberapa daerah, pengumpulan dan pengiriman data yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, bukan tenaga perdata khusus.

Agar Harapan Tidak Pupus

Harapan usainya pandemi dapat diukur salah satunya dengan indikator angka kematian.  Agar harapan tidak pupus, seyogiyanya seluruh indikator dari sektor hulu hingga hilir diberlakukan. Lebih dari itu, hal yang dapat membuat seluruh sektor berjalan maksimal, yaitu sistem dan regulasi yang tepat dibutuhkan. Tanpa sistem yang tepat, penanganan pandemi seperti panggang jauh dari api.

Dunia sudah membuktikan sengkarut penanganan pandemi akibat sistem saat ini yang tidak mendukung. Diperlukan sistem alternatif yang akan mampu mengayomi setiap langkah kebaikan penanganan pandemi. Adalah sistem Islam, sebagai salah satu solusi alternatif yang layak diperhitungkan. Sistem yang memadukan petunjuk ilahiah dan saintek mutakhir. Sistem yang menjadi harapan atas siapa pun yang ingin pandemi berakhir. Wallahu a'lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: cnn indonesia

 


latestnews

View Full Version