Oleh: Wike Wijayanti
Keracunan makanan lagi-lagi terjadi, diungkapkan oleh Dinkes kota Cimahi yang memaparkan bahwa korban terpapar keracunan makanan acara reses anggota DPRD di Cimahi mencapai 326 orang, dan yang dirawat inap ada 198 orang, sementara sisanya rawat jalan. Ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Cimahi Dwihadi Isnalini.
Disinyalir ratusan orang mengalami gejala keracunan serupa setelah mengonsumsi makanan dari acara reses anggota DPRD di Kelurahan Padasuka. Para korban berasal dari Kelurahan Setiamanah, Kelurahan Cimahi, dan Kelurahan Padasuka. Sebagian warga yang mengalami gejala keracunan setelah diobservasi di Puskemas Padasuka - yang merupakan posko kesehatan keracunan makanan - hanya membutuhkan rawat jalan. Namun ada pula pasien yang membutuhkan perawatan lanjutan sehingga diantar ke rumah sakit menggunakan ambulans. Ada lima rumah sakit yang menjadi tempat rujukan pasien keracunan makanan utama yakni Cibabat, Dustira, Mitra Kasih, Kasih Bunda, dan Mitra Anugrah Lestari (MAL). Dalam upaya mencari tahu penyebab keracunan, Puskesmas Padasuka dengan Dinas Kesehatan Cimahi pada Minggu (23/7) sudah mengirimkan sampel makanan yang dikonsumsi oleh orang-orang yang mengalami gejala keracunan ke Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Barat. Sampai saat ini pihak Kota Cimahi masih menunggu hasil pemeriksaan sampel makanan dari laboratorium. "Jadi belum bisa dipastikan apa penyebabnya," ucap Dwihadi. (Antaranews.com)
Fenomena ini jelas membuat retorika keamanan pangan (food safety) di negeri kita terpukul. Keamanan pangan sendiri adalah metode/disiplin ilmiah berkaitan dengan penanganan, penyiapan, dan penyimpanan makanan untuk mencegah penyakit dari makanan atau keracunan makanan. Terjadinya dua atau lebih kasus penyakit serupa akibat konsumsi makanan biasa dikenal sebagai wabah keracunan makanan atau keracunan massal. Hal ini menunjukkan bahwa sistem keamanan pangan kita perlu banyak berbenah, baik dari sisi riset maupun birokrasi. Ini dalam rangka memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
Sudah semestinya pemerintah lebih proaktif untuk terjun ke masyarakat melakukan pelayanan demi tercapainya standar keamanan pangan. Pemerintah juga urgen untuk terus melakukan edukasi perihal konsep dan tata kelola keamanan pangan kepada masyarakat, khususnya kepada produsen pangan, pedagang makanan, serta konsumen produk pangan. Hendaknya pemerintah tidak menunggu ada laporan kejadian, bahkan yang sampai makan korban, baru melakukan tindakan penanggulangan.
Dalam Islam, perintah untuk memakan makanan halal dan tayib tidak berdiri sendiri, melainkan disertai dengan pengurusan oleh negara melalui inspeksi pasar yang dilakukan oleh qadi hisbah (al-muhtasib). Qadi hisbah bertugas mengurusi penyelesaian masalah penyimpangan-penyimpangan (mukhalafat) yang dapat membahayakan hak-hak jemaah. Dalam menjalankan tugasnya, Qadi hisbah akan dibantu/ditemani oleh syurthah (polisi) yang berada di bawah wewenangnya untuk mengeksekusi perintah-perintahnya dan menerapkan keputusannya saat itu juga karena keputusan qadi hisbah bersifat mengikat.
Qadi hisbah tidak memerlukan sidang pengadilan supaya ia dapat memeriksa pengaduan. Ia berhak memutuskan di tempat mana pun dan kapan pun, baik di pasar, rumah, di atas hewan tunggangan, maupun di dalam kendaraan; pada malam hari ataupun siang hari. Dengan demikian, bentuk inspeksi pasar yang dilakukan oleh qadi hisbah bukan hanya untuk bahan mentah seperti yang dijual di pasar lauk dan sayur, tetapi juga produk-produk olahan berupa makanan, jajanan, obat-obatan hingga kosmetik.
Inspeksi tidak hanya berlaku untuk pasar tradisional ataupun pedagang kaki lima, tetapi juga pasar-pasar modern seperti supermarket, serta pusat-pusat pengolahan pangan, baik itu berskala industri rumah tangga maupun pabrik besar milik korporasi. Inilah wujud pelayanan negara dalam menjalankan sistem dan tata kelola keamanan pangan. Semua itu adalah tugas dan pelayanan negara, bukan ajang bisnis negara kepada rakyatnya. Wallahu'alam Bishawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google