View Full Version
Kamis, 26 Aug 2021

Taubat, Tidak Harus dengan Shalat Taubat

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam.  Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Taubat itu dengan meminta ampunan (istighfar) kepada Allah, kembali kepada Allah dengan ketaatan dan mengerjakan kebaikan, serta bertekad tidak mengulangi lagi kemungkaran-kemungkaran yang ia bertaubat darinya. Ini bukti real bahwa seorang hamba bertaubat kepada Tuhannya.

Menyesali dosa dan bertekad kuat untuk tidak kembali kepada kemaksiatannya tersebut untuk kedua kalinya disebut dengan taubatan nasuha. Yaitu taubat yang murni, tulus, dan penuh kesungguhan. Tentu kesempurnaannya dengan menyibukkan diri kepada ketaatan-ketaatan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ

"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. . . " (QS. Al-Tahrim: 8)

Taubat ini tidak harus dengan shalat taubat dua rakaat. Tetapi jika seseorang mengerjakan shalat 2 trakaat saat ia bertaubat dari kemaksiatan atau kemungkaran maka itu baik. Sifat shalat ini sebagaimana sifat shalat sunnah mutlak lainnya. Tidak ada tata cara khususnya kecuali niatan bertaubat dan minta ampunan kepada Allah. Maka ia jadikan shalatnya sebagai wasilah untuk berdoa kepada Allah agar menerima taubatnya dan mengampuni dosa-dosanya.

Diriwayatkan dari Abu Bakar al-Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ

"Tidaklah seorang hamba berbuat satu dosa, lalu ia bersuci dengan baik, lalu berdiri untuk shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuni dosanya."

Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam membaca:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. [QS. Ali Imran: 1365]." (HR. Abu Dawud no. 1521. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Penulis Shahih Fiqih Sunnah dalam megomentari hadits di atas mengatakan, "Dalam sanadnya terdapat kelemahan, hanya saja ayat tersebut menguatkan maknanya. Di samping itu, hadits ini juga dishahihkan oleh sebagian ulama." (Shahih Fiqih Sunnah: 2/95)

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Abu Darda' Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Siapa yang berwudhu dan memperbagus wudhunya, lalu berdiri shalat dua rakaat atau empat (salah seorang perawi ragu), ia memperbagus dzikir dan khusyu' dalam shalatnya, kemudian beristighfar (meminta ampun) kepada Allah 'Azza wa Jalla , pasti Allah megampuninya." (Para pentahqiq al-Musnad mengatakan: Isnadnya hasan. Syaikh Al-Albani menyebutkannya dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, no. 3398)

Sekali lagi, bertaubatan seorang hamba tidak harus dengan mengerjakan shalat taubat ini. Bahkan sejumlah ulama masih memperdebatkan penetapan jenis shalat ini. Karenanya, para ulama tidak memasukkan shalat taubat ini sebagai syarat taubat. Mereka rahimahumullah –di antaranya al-Imam al-Nawawi dalam Riyadhus Shalihih, menetapkan syarat taubat yang sungguh-sungguh dengan; pertama, meninggalkan perbuatan maksiat tersebut. Kedua, menyesali perbuatan maksiatnya. Ketiga, bertekad tidak akan mengulanginya untuk selama-lamanya.

“Dan apabila hilang salah satu dari ketiganya maka tidak sah taubatnya,” tambah Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin,  Bab al-Taubah, hal. 11.

[Baca: Disyari'atkan Shalat Taubat Bagi Pelaku Maksiat]

Ketiga syarat di atas jika maksiatnya berkaitan dengan hak Allah saja. Apabila terkaiat dengan hak sesama maka syaratnya ada empat. Tiga di atas, ditambah satu lagi, yaitu mengembalikan hak-hak mereka yang telah dizaliminya atau meminta kehalalannya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version