View Full Version
Sabtu, 13 Jun 2015

Sadranan dan Dakwah Walisongo di Pulau Jawa

JAKARTA (voa-islam.com)- Enam Ratus Tahun lalu, Pulau Jawa masih menjadi pulau milik Hindu dan Budha. Hal itu ditandai dengan banyaknya Candi Hindu dan Budha, seperti Candi Borobudur (Budha) dan Candi Prambanan (Hindu). Alhamdulillah, berkat dakwah dari para ulama yang tergabung dalam Walisongo, akhirnya Pulau Jawa berhasil dirubah secara damai menjadi pulau milik Islam, yang diawali dengan berdirinya Kasultanan Islam Demak pada akhir abad ke 15 M. Seandainya Kolonial Belanda yang membawa misi penyebaran Kristen tidak datang pada akhir abad ke 16 M, niscaya Indonesia sudah menjadi Negara Islam.

 

Maka tidaklah mengherankan jika masyarakat Jawa yang merupakan 60 persen penduduk Indonesia, setiap bulan Ruwah (Sya’ban) selalu melakukan  Sadranan,  sebuah tradisi untuk menengok makam dari keluarga dekat seperti orang tua, nenek, anak atau saudara yang telah meninggal dunia. Tradisi sadranan juga dilakukan pejabat tinggi negara termasuk Presiden Indonesia sejak Presiden Sukarno, Suharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Jokowi sekarang ini. Mereka selalu nyadran ke makam orang tuanya yang telah wafat sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tua dengan  mendoakan agar ruhnya diberi tempat yang layak di alam kubur.

 

Tradisi Sadranan  memang  warisan zaman Hindu dan Budha di Pulau Jawa sebelum masuknya Islam ke Nusantara. Menurut sejarahwan yang juga ulama sekaligus sastrawan Prof Dr Hamka, Islam telah masuk ke Nusantara di Kasultanan Samudera Pasai Aceh sejak abad 8 M pada zaman Kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus, Suriah. Pendapat Buya Hamka itu sekaligus menjungkir-balikkan pendapat Orientalis Barat yang mengatakan Islam baru masuk ke Nusantara pada abad 13 M. Padahal Islam sudah mempunyai kekuatan politik di Nusantara pada abad 12 M di Sumatera dengan berdirinya Kasultanan Samudera Pasai. Sementara di Jawa, Islam baru berkembang pesat abad ke 15 M dengan berdirinya Kasultanan Islam Demak setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.  

 

Tetapi pada zaman Kerajaan Majapahit, Islam berhasil masuk secara damai dimana sedikit demi sedikit kepercayaan animism, sinkretisme, hindu dan budha dirubah menjadi kepercayaan terhadap Tauhid (mengesakan Allah SWT). Bahkan sebagian pejabat tinggi Kerajaan Majapahit, seperti Gajah Mada  dikabarkan sudah  memeluk Islam sebagai hasil dari dakwah ulama besar dari Hadramaut, Yaman, Syekh Jumadil Kubro yang sengaja dikirim Kasultanan Usmaniyyah di Islambul Turki untuk berdakwah ke Pulau Jawa yang waktu itu dikenal dunia sebagai pulau penghasil beras. Kedatangan Syekh Jumadil Kubro ke Pusat Pemerintahan Kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur pada abad 13 M mendahului 2 abad sebelum adanya Walisongo dan 3 abad sebelu kedatangaan Kolonial Belanda yang membawa Kristen ke Indonesia. Jadi sesungguhnya Syekh Jumadil Kubro adalah perintis awal dakwah Islam di Tanah Jawa yang kemudian diteruskan para Walisongo di Kasultanan Islam Demak.

 

Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit sebagai akibat dari perebutan kekuasan diantara pejabat tinggi kerajaan (jadi bukan karena diinvasi militer Kasultanan Islam Demak), beberapa puluh tahun kemudian berdirilah Kasultanan Islam Demak yang didirikan Raden Fatah yang juga putera Raja terakhir Majapahit Raja Brawijaya V dengan istri selir seorang puteri dari Campa (Vietnam) yang beragama Islam dan dinikahinya secara nikah siri. Dalam mendirikan Kasultanan Islam Demak, Sultan Fatah didukung Walisongo dimana dia sendiri termasuk anggota Sidang Majelis Walisongo. 

 

Sejak saat itu dakwah Islam yang ditopang dengan kekuasaan politik kepada masyarakat Jawa semakin intensif dan berhasil, sehingga sedikit-demi sedikit orang Jawa memeluk Islam dari semula beragama Hindu dan Budha.  Dengan memeluk agama Islam, tradisi Sadranan yang semula berbau animis, sinkretis, hindu, budha serta kemusyrikan dengan meminta sesuatu kepada roh yang disertai dengan sesajen, maka berubah menjadi tradisi ziarah kubur yang berjiwa Islam dan ajaranTauhid, seperti mendoakan ahli kubur agar diberi tempat yang baik di alam Barzah. Sebab orang mati sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, mereka hanya ingin didoakan oleh keluarganya yang masih hidup agar selamat dari azab kubur.

 

Ziarah Kubur

 

Ziarah kubur diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam. Ziarah kubur dimaksudkan untuk mengambil ibarat atau mengingat akan kematian. Sebab orang yang sekarang ziarah kubur, nanti pasti akan menjadi ahli kubur, sebab umur manusia sudah ditentukan dan setiap detik akan selalu berkurang. Dengan demikian, bagi yang masih hidup akan selalu berhati-hati dalam bertindak di alam dunia, karena nanti semuanya akan dipertanggungjawabkan segala amalan baik dan buruknya setelah dirinya mati dan berada di alam Barzah maupun alam Akhirat sesudah Kiamat nanti. Sebab kalau manusia mati sudah tidak bisa lagi  berbuat amal sholeh.

 

Selain itu ziarah kubur juga dimaksudkan untuk mendoakan ahli kubur, bukan meminta sesuatu melalui wasilah (perantaraan) ahli kubur yang bisa berakibat pada kemusyrikan, padahal syirik kepada Allah SWT adalah nenek moyang dari segala dosa besar. Adapun doa untuk ahli kubur adalah agar diberi rahmat dan diampuni segala dosa-dosanya serta diberi tempat yang baik sesuai dengan amal kebaikannya semasa masih hidup di dunia.

 

Memang semula Nabi Muhammad SAW melarang umat Islam untuk ziarah kubur. Tetapi setelah dirasa keimanan umat Islam sudah kuat sehingga bisa terhindar dari bahaya kemusyrikan, maka Nabi SAW membolehkan untuk ziarah kubur bahkan disunahkan. “Dahulu saya melarang kamu menziarahi kubur. Tetapi sekarang berziarahlah, karena akan mengingatkan kamu kepada akhirat (kematian). (Hadist riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud).

 

Jadi sesungguhnya ziarah kubur merupakan ajaran Islam yang oleh para Walisongo digunakan untuk mengislamkan tradisi Sadranan yang masih berbau kemusyrikan. Sesajen dalam Sadranan diganti dengan doa-doa yang ditujukan kepada ahli kubur dari kaum muslimin dan muslimat agar dijauhkan dari siksa kubur dan diberi ampunan Allah SWT. Dengan demikian Walisongo telah berhasil dalam dakwahnya secara damai untuk mengIslamkan masyarakat Jawa sekaligus mengIslamkan tradisinya termasuk Sadranan. Jadi sesungguhnya Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian sekaligus rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta ciptaan Allah SWT. (*) (Abdul Halim/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version