View Full Version
Jum'at, 19 Jun 2015

Sudah 5 Tahun, Isak Tangis Masih Warnai Sahur Pertama Pengungsi Sinabung

SINABUNG (voa-islam.com) - Para pengungsi bencana Gunung Sinabung di Posko Jambore Lige, Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, menjalani sahur pertama di bulan suci Ramadan tahun ini. Kentadi udara cukup dingin, tidak menyurutkan para kaum perempuan pengungsi memasak makanan untuk sahur demi menjalankan ibadah puasa.

Dengan bahan makanan seadanya, para pengungsi memasak makanan untuk pengungsi lain yang akan berpuasa. Mereka menggunakan peralatan dan bahan seadanya, pengungsi Sinabung mulai memasak makanan pada pukul 02.30 WIB di Posko Jambor itu.

Saat menyantap hidangan sahur, tak terasa air mata bercucuran di wajah para pengungsi Sinabung. Isak tangis pun menyelimuti para pengungsi sembari mengungkapkan rasa kesedihan mereka.

“Sedih sekali kami lihat anak-anak sahur seperti ini. Setiap tahun kami menderita. Sudah dua kali puasa kami di pengungsian,” ujar salah satu pengungsi bernama Ariati Boru Sitepu sembari mengusap air mata, Kamis (18/6).

Para pengungsi tidak bisa berbuat banyak atas bencana erupsi Gunung Sinabung yang menimpa Desa Kuta Rakyat. Mereka pun hanya bisa pasrah menghadapi cobaan tersebut. “Keadaan kami seperti ini kita terima apa adanya. Kemarin sudah enak kami cari makan, tapi kembali terjadi erupsi. Tak ada uang kami sepeser pun, sudah habis uang kami,” ungkap Ariati.

Hingga saat ini terdapat 1.842 pengungsi yang ada di Posko Jambor, Kecamatan Daulat Rakyat. Dari jumlah tersebut jumlah umat Islam sekira 100 orang.

Hariati Boru Sitepu, 40, adalah warga Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Karo, Sumatera Utara, berjalan menuju dapur umum di subuh yang dingin pada Kamis (18/6) dini hari.

Di hari pertama Ramadan itu, ibu dua anak ini hendak bekerja menyiapkan sahur untuk para pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung yang menghuni kamp penampungan. Udara dingin yang menusuk tulang tak menghalangi Hariati dan ibu-ibu lainnya untuk menyiapkan menu sahur sederhana di lokasi pengungsian di Jambur, Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat itu. Meski terlihat mengantuk dan letih, Hariati dan ibu-ibu lainnya tampak sigap menyiapkan sahur dengan menu seadanya.

Berselang 30 menit kemudian, menu untuk sahur pun siap disantap. Setelah memanjatkan doa, ratusan pengungsi yang terdiri atas orang tua, remaja, dan anak-anak mulai bersantap sahur sembari bercerita ringan tentang kehidupan, kondisi anak-anak, dan kampung halaman yang mereka tinggalkan setelah mengungsi. Rasa persaudaraan dan kebersamaan terasa kental di lokasi dapur umum berukuran 5 x 5 meter tersebut.

Bagi Hariati dan ratusan umat Islam lain yang menghuni kamp penampungan, ini adalah tahun kelima mereka menjalankan ibadah puasa di tempat itu. ”Sejak tahun 2010 hingga sekarang ini, kami selalu menjalani puasa dan berlebaran di pengungsian. Setiap bulan Ramadan pasti mengungsi. Enggak tega aku melihat anak-anak yang masih kecil ini,” ungkap Ati, panggilan akrab Hariati, sambil berlinang air mata. Ati yang pagi itu mengenakan jilbab putih bercerita, sebelum bencana datang kembali, mereka sudah hidup nyaman di desa dengan kembali mengolah lahan pertanian. [adivammar/dbs/pribumi]


latestnews

View Full Version