View Full Version
Kamis, 19 Dec 2019

Khilafah dan Strategi Terburuk HTI

Tony Rosyid

[Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa]

Meski HTI sudah dibubarkan, kontroversi Khilafah berlanjut. Bahkan berkepanjangan. Kontroversi ini terkait apakah Khilafah itu perintah agama atau bukan. Ada yang bilang itu instruksi Tuhan. Bisa ditemukan ayatnya di dalam kitab suci. Nabi pun mempraktekannya. Dan HTI ada di posisi ini. Paling militan. Lalu terjadilah perdebatan soal tafsir kitab suci dan sejarah Nabi. Seru!

Perdebatan selanjutnya adalah apakah Khilafah bertentangan dengan pancasila atau tidak. Muncul pendapat bahwa Khilafah itu akan jadi pertanyaan di alam kubur, sementara pancasila tidak. Pancasila itu urusan duniawi, gak ada kaitannya dengan akhirat. Wah, makin seru. Kali ini diskusinya sudah masuk ke alam kubur.

Bagi para pendukung penguasa, ini simple. Terus pupuk perdebatan tentang khilafah, stigmakan negatif bahwa Khilafah itu berbahaya bagi pancasila dan NKRI, berpotensi menimbulkan perpecahan dan konflik horizontal. Sebuah lonceng perang seperti Arab Spring.

Lalu, siapkan pasukan untuk menjaga isu dan stigma ini. Giring opininya bahwa semua kelompok yang berseberangan dengan penguasa adalah pendukung khilafah.

Stigmatisasi model seperti ini sangat efektif dipakai sebagai langkah strategis di Indonesia. Mengingat sejarah panjang politik Indonesia telah melahirkan masyarakat yang trauma terhadap pemberontakan baik dari kelompok kiri maupun melompok kanan. PKI dan DITII dianggap telah melukai negeri ini. Maka, setiap isu kiri dan kanan akan mendapatkan penolakan keras dari mayoritas rakyat Indonesia.

Orde Baru Pak Harto menggunakan isu kiri yaitu PKI. Siapapun yang mengkritik Soeharto distigmakan komunis. Terbukti ini sangat efektif. Banyak orang dipenjara dengan tuduhan menyebar paham komunis.

Para pendukung penguasa sekarang sepertinya lebih memilih menggunakan isu kanan yaitu khilafah untuk menghadapi lawan-lawan politiknya. Bahwa Khilafah itu radikal. Dan nampaknya strategi ini berhasil. HTI belum menyadari. Atau sadar, tapi belum mau move on untuk mengubah strateginya. Masih terlihat asyik bernyanyi dengan irama khilafah. Maka kemudian disambut antusias dengan stigma "radikal".

Kalau mau obyektif, berapa sih jumlah anggota HTI di Indonesia? Dan berapa banyak sih tokoh dan ormas yang dukung HTI? Seberapa bahayanya HTI bagi NKRI? Mengingat organisasi ini tidak pernah mau terlibat di dalam politik praktis. Gak nyoblos saat pemilu. Pernahkah HTI berbuat onar? Pernahkah para anggota HTI melakukan tindakan radikal atau pemberontakan? Tidak! Tidak pernah! Mereka justru dikenal tertib kalau demo. Kenapa dianggap radikal? Nah itu dia.

Kalau dilihat dari sejumlah tokoh yang ditangkap karena tuduhan makar, melakukan pelanggaran ini dan itu, termasuk yang diisukan sebagai korban kriminalisasi, tak ada satupun tokoh, pengurus dan aktivis HTI. Jadi, dimana bahayanya? Terlalu jauh membayangkan HTI itu organisasi berbahaya. Tapi, kenapa dibubarkan dan sampai sekarang masih dikejar-kejar? Tokoh-tokohnya dicurigai dan sebagian dipersekusi? Inilah pertanyaan yang ada di kapal publik.

Tahu begitu, kenapa HTI belum menyadari situasi dan permainan stigma ini? Mengapa gak coolling down untuk sementara waktu? Mengapa gak move on dan ganti strategi? Kenapa gak atur nafas dan membuat langkah yang lebih soft? Ini bukan soal bagaimana memahami kitab suci dan menafsirkan sejarah Nabi. Ini juga bukan sekedar pertanyaan alam kubur dan nasib alam akhirat. Tapi, ini soal politik. Soal politik bro. Lebih karena faktor politik dari pada ideologi. Sekali lagi, ini politik. Di dalam politik, mutlak butuh strategi.

HTI sudah dibubarin. Tidak ada yang bisa bubarin! UUD 45 menjamin orang berkumpul dan berkelompok! Ini hanya soal ijin saja yang dicabut! HTI tetap ada dan eksis!

Oh ya? Bagaimana mungkin cara berpikir normatif seperti ini bisa menghadapi strategi politik orang-orang hebat yang berada di lingkaran elit kekuasaan? Biarlah Tuhan yang menghadapi! Nah, makin repot deh. Tuhan sudah amanahkan kepada anda, anda balikin lagi ke Tuhan.

. . . . Sekali lagi, ini politik. Di dalam politik, mutlak butuh strategi. . . .

Kendati HTI sudah dicabut ijinnya, tapi peluru khilafah masih aktif, atraktif dan efektif menyasar kelompok-kelompok yang berbeda politik dengan penguasa. Seolah semua adalah pendukung HTI. Dan stigma ini berhasil memengaruhi pikiran publik.

Pada akhirnya, semua dikembalikan kepada HTI. Mau terus meratapi situasi dan tetap menyerang dengan meme, video dan tulisan-tulisan sporadis? Tentu, tak ada gunanya. Ini strategi yang kurang tepat. Malah justru akan semakin menyudutkan posisi HTI itu sendiri.

Dan bagaimana dengan kelompok-kelompok yang terlanjur dicap sebagai pendukung dan kawan HTI? Biarkan saja stigma itu meracuni otak publik? Atau mencoba mengurai agar publik paham dan semua identitas perjuangan menjadi clear? Kita akan lihat kedepan. [PurWD/voa-islam.com]

Jakarta, 19/12/2019


latestnews

View Full Version