View Full Version
Senin, 30 Nov 2020

Menyambut Pengurus Baru MUI, Pesan Buya HAMKA: Ulama Tidak Bisa Dibeli

 

Oleh:

Dr. Adian Husaini || Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia

 

Pada 27 November 2020, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 telah memilih jajaran pimpinan MUI periode 2020-2025. Semoga para pimpinan MUI dapat mengemban amanah yang berat!

MUI adalah lembaga keulamaan dan ketokohan umat Islam yang didirikan oleh pemerintah Orde Baru tahun 1975. Dalam usianya yang ke-45, MUI memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah umat Islam Indonesia. Banyak sikap resmi dan fatwa MUI yang memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam dan juga pemerintah.

Saat ini, MUI adalah satu-satunya lembaga Islam yang diberi kewenangan undang-undang untuk menetapkan fatwa halal suatu produk. Dalam bidang Ekonomi Syariah, fatwa MUI – melalui Dewan Syariah Nasional – dijadikan pegangan resmi oleh otoritas keuangan RI.

Karena itulah, ketua umum MUI memiliki kedudukan penting dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia. Hampir-hampir, ketua Umum MUI, menempati kedudukan seperti Mufti di beberapa negara. Masuk akal, kita berharap, semoga Munas MUI ke-10 dapat memilih ketua umum yang ideal dalam menghadapi tantangan zaman.

Ulama tak dapat dibeli

Buya Hamka adalah Ketua Umum MUI pertama. Ia dipilih di saat umat Islam Indonesia sedang menghadapi tantangan berat dalam berbagai bidang kehidupan. Hamka menjabat Ketua Umum MUI mulai 1975 sampai wafat tahun 1981. Kepada para peserta Munas ke-10 MUI, ada baiknya mengingat kembali pesan-pesan Hamka yang disampaikan dalam acara penutupan Munas MUI ke-1 di Jakarta, 27 Juli 1975.

Dalam pidatonya, Buya Hamka mengingatkan, bahwa para ulama pengurus MUI adalah penerus perjuangan ulama-ulama terdahulu. Atas ajakan pemerintah untuk berpartisipasi dalam pembangunan, memberikan nasehat kepada pemerintah – diminta atau tidak diminta – dan agar memperteguh Ketahanan Nasional dari segi kerohanian, kata Buya Hamka, “Terbukalah bagi kita yang datang di belakang ini jalan buat meneruskan amal usaha dan jihad.”

“Amar ma’ruf nahi munkar adalah pekerjaan yang sungguh-sungguh berat, menyebut mudah, melaksanakannya sangat sukar. Kalau iman tidak kuat gagallah usaha kita,” kata Hamka.

Menguraikan makna QS Ali Imran ayat 110, Buya Hamka menyatakan, dalam ayat tersebut, ada tiga unsur kemerdekaan yang jadi syarat mutlak bagi kemuliaan suatu umat. Pertama, kemerdekaan menyatakan pendapat (amar ma’ruf). Kedua, kemerdekaan mengritik yang salah (nahyi munkar). Pada kalimat ma’ruf terkandunglah opini publik. Artinya, pendapat umum yang sehat dan pada kalimat munkar terdapat pula arti penolakan orang banyak atas yang salah. Oleh sebab itu, maka amar ma’ruf nahyi munkar maksudnya ialah membina pemikiran yang sehat dalam masyarakat.

Yang ketiga, yang utama, adalah iman kepada Allah. Itulah yang menjadi dasar utama. “Artinya, kalau iman telah berkurang, telah muram, kita tidak berani lagi ber-amar ma’ruf dan lebih tidak berani lagi ber-nahyi munkar. Kalau kita beriman, kita tidak takut ber-amar ma’ruf nahyi munkar,” papar Hamka.

Hamka mengibaratkan ulama-ulama yang tergabung dalam MUI laksana “kue bika” yang dipanggang dari atas dan bawah. Dari bawah dinyalakan api. Itulah berbagai keluhan masyarakat terhadap pemerintah. Dari atas dihimpit api pula. Itulah harapan-harapan pemerintah supaya rakyat diinsafkan dengan bahasa rakyat itu sendiri.

Jika terlalu berat ke atas, maka putus dari bawah. Itu artinya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Terlalu berat ke bawah, hilang hubungan dengan pemerintah. Bisa saja pemerintah menuduh ulama tidak berpartisipasi dalam pembangunan.

“Memang sangat berat memikul beban ini. Kalau gelar ulama kita terima, padahal perbaikan diri, terutama peningkatan iman tidak kita mulai pada diri kita sendiri, niscaya akan turut hanyutlah kita dalam gelombang zaman sebagai sekarang, dimana orang berkejar-kejaran karena dorongan ambisi mencari dunia, mencari pangkat, mengambil muka kepada orang di atas, menjilat sehingga pernah terdengar suara-suara yang mengatakan: bahwa ulama bisa dibeli,” kata Buya Hamka.

Terhadap suara-suara sumbang semacam itu, Buya Hamka menegaskan, “Tidak, bapak-bapak yang tercinta! Ulama sejati waratsatul anbiyaa tidaklah dapat dibeli. Janganlah Tuan salah tafsir. Tidak Saudara! Ulama sejati tidaklah dapat dibeli, sebab sayang sekali, ulama telah lama terjual. Pembelinya ialah Allah.”

Hamka mengutip QS at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa raganya dan harta bendanya, dan akan dibayar dengan sorga.” (Pidato Buya Hamka dimuat dalam buku berjudul “Majelis Ulama Indonesia” terbitan Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan (1976).

Terakhir, untuk kita semua – pengurus MUI, para ulama, dan pimpinan Organisasi Islam lainnya — ingatlah pesan Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin: “Rakyat rusak karena penguasa rusak. Penguasa rusak karena ulama rusak. Ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan!”*


latestnews

View Full Version