View Full Version
Ahad, 24 Jan 2021

Perpres No. 7/2021 Sangat Berbahaya

 

 

Oleh:

Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum || Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

 

EKSTRIMISME berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia, teridentifikasi oleh Presiden Jokowi, semakin meningkat. Peningkatan ekstrimisme itu telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.

Itulah justifikasi sosilolgis Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) tahun 2020-2024. Benarkah itu? Itu bukan soal hukum. Itu sepenuhnya soal politik.

Politik tidak mengenal benar dan salah. Politik hanya berurusan dengan perhitungan. Ya soal kalkulasi. Validitasnya bergantung penuh pada daya dukung, kemampuan dan keberhasilan mengendalikan keadaan. Tidak lebih dari itu. Itu sebabnya jangan menyodorkan aspek-aspek normatif hukum untuk mengukur validitas pertimbangan tersebut.

Sangat Menakutkan

Tetapi persis dikoridor itulah, soal ini jadi menarik dianalisis. Tawa riang akan segera menemukan siapapun yang menilai Perpres RAN PE bertolak belakang dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU.

Betul Perpres RAN PE dialirkan atau disandarkan pada UU Nomor 5 Tahun 2018 itu. Betul itu. Betul sekali UU Nomor 5 Tahun 2018 telah begitu jelas mengatur hal-hal yang Perpres RAN PE ini kualifikasi sebagai “ekstrimisme”. UU ini begitu jelas bicara mengenai kontraradikalisasi. Targetnya jelas.

Targetnya tidak terbatas mereka yang pernah dihukum melakukan tindakan terorisme. Targetnya luas. Perorangan dan atau kelompok orang teridentifikasi “terpapar faham radikal” dinyatakan oleh UU ini sebagai taget kontradikalisasi. Lalu, Apa makna dari terminologi orang yang terpapar faham radikal? Maknanya tidak lain, selain orang yang memiliki keyakinan, yang dengannya membawa atau mengakibatkan mereka melakukan tindakan terorisme. Hanya itu titik. Tidak lebih.

Tidak ada terorisme yang dilakukan dengan cara-cara lembut. Tidak ada. Terorisme dengan cara-cara lembut, dan akibat yang biasa-biasa saja? Itu konyol dan tolol. Terorisme ya kekerasan, sebagai hasil dari keyakinan ekstrimnya. Jadi, untuk apa Perpres RAN PE itu?

Penggunaan pendekatan isolasionis atau purposivistik sekalipun, sulit untuk menyangkal kesamaan substansial sifat antara terminologi “terpapar faham” menurut terminologi UU Nomor 5 Tahun 2018  dan “keyakinan” menurut terminologi Perpres RAN PE, tetap tidak bisa. Mengapa?

Baik “terpapar faham” menurut terminologi UU Nomor 5 Tahun 2018 maupun “memiliki keyakinan” menurut terminologi Perpres RAN PE ini, keduanya sama dalam sifatnya. Hal ini disebabkan kekerasan ada pada keduanya, sekaligus menjadi basis keduanya.

Justru pada titik itulah menariknya Perpres RAN PE ini. Apa yang menarik? Terminologi “ekstrimisme” lebih eksplosif. Terminologi ini lebih menakutkan dibandingkan terminologi  orang “terpapar faham radikal.” Itulah urgensi kehadiran terminologi “ekstrimisme” dalam Perpres RAN PE ini.

Apakah hal soal sesepele dan sesederhana di atas tidak dapat dinalar oleh Presiden? Tidak mungkin. Perangkat pendukung dan sumberdaya kepresidenan lebih dari cukup. Malah mengagumkan, sehingga seharusnya Perpres RAN PE, bercitarasa suka-suka ini, tidak perlu diterbitkan.

Kenyataannya Perpres RAN PE itu telah eksis. Perpres dalam konteks itu, menjadi instrumen legalisasi terminologi ekstrimisme, yang tidak dikenal dalam UU Terorisme. Perpres bernilai intrumentatif ini menjustifikasi lebelisasi politis terhadap siapapun yang kritis kepada pemerintah.

Siapapun dia, yang karena keyakinannya berbicara kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah, segera menemukan diri dicap sebagai orang ekstrim. Pada akhir tahun 1800-san  sampai awal 1900-san, negara seperti  Jerman, Perancis dan Inggris, telah lebih dahulu bergerak dalam koridor ini.

Kenyataannya sekarang, aktivis Islam mutakhir di Indonesia, terlihat begitu telanjang dipanggung politik sebagai eksponen paling produktif dengan kritik-kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi. Kritik sangat demonstratif dari kalangan ini tersaji begitu ekspresif dan demonstratif sejak 2016 lalu. Gelombang demonstrasi kalangan ini, dikenal dengan demo 411 dan 212, jelas dalam konteks itu.

Bentengi Kekuasaan

Beralasankah kenyataan tak terbantahkan itu dikesampingkan dari konteks politis Perpres RAN PE ini? Beralasankah mengambil dan menjadikan para aktivis, khususnya Islam, sebagai titik bidik atau berada dalam orbit Perpres RAN PE? Sulit menghindarkannya.

Memang teks-teks Perpres RAN PE ini sama sekali tidak menempatkan aktivis Islam, apalagi eksponen eks FPI pada orbitnya. Tetapi sekali lagi, apakah ketiadaan teks itu, dapat disodorkan sebagai bukti tidak adanya pertalian kontekstual dengan ekpresi kritik-kritik berkelanjutan dari kalangan aktivis Islam? Sulit untuk mengatakan tidak atau bukan.

Beralasankah menarik dan menjadikan, misalnya unlawfull killing terhadap pengawal habib Rizieq, yang jorok, primitif, bar-bar, tidak beradab dan menjijikan itu? Beralasankah kebijakan pelarangan semua kegiatan FPI, juga pemblokiran rekening-rekening FPI, dan pihak yang terafiliasi dengannya, dikesampingkan dari konteks kebijakan RAN PE ini?

Ancaman terhadap hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional, yang Presiden rujuk sebagai justifikasi sosiologis Prepres RAN PE ini, bukan tak dapat disanggah. Justifikasi ini sangat konvensional. Justifikasi ini telah lama digunakan. Pemerintahan Pak Harto terlatih sangat mahir dalam soal ini.

Ekstrim kiri dan ekstrim kanan, merupakan terminologi yang berserakan disepanjang jalan pemerintahan Orde Baru. Istilah ini digunakan secara bergantian dengan stabilitas pembangunan. Hasilnya jelas dalam beberapa aspek. Aktivis Islam menjadi sasaran kebijakan ini. Peristiwa Tanjung Priok yang jijik dan jorok dalam semua apeknya itu, merupakan buah kongkrit dari kebijakan stabilisasi keamanan dan pemenuhan hak memperoleh rasa aman.

Pemerintah Orde Baru punya UU Subversi. UU paling buruk untuk ukuran rule of law ini, menyediakan ruang diskresi tak terbatas kepada penguasa. Penguasa leluasa mendefenisikan dan mengkualifikasi sesuka-sukanya tindakan-tindakan terhadap orang sebagai subversi.

Stabilisasi model Orde Baru itu, dalam kenyataannya, terpercaya sebagai cara penguasa Orde Baru membentengi kekuasaannya. Orang-orang kritis, dibungkan sesuka-sukanya. Betul tidak, semua dipenjara. Tetapi mereka yang tidak dipenjara segera menemukan kenyataan mati hak perdatanya.

Hal-hal ini menginspirasi Presiden Jokowi? Tidak dapat dipastikan. Tetapi Perpres RAN PE ini, memiliki kemiripan, dalam beberapa aspek dengan kebijakan stabiliasi Orde Baru. Persis Orde Baru, yang enforcementnya memerlukan kehadiran struktur baru. Perpres ini juga mengatur keberadaan satu struktur baru. Namanya Sekretariat bersama.

Pesta stabilisasi model Orde Baru didukung UU Subversi, yang bertolak belakang dalam semua sudutnya dengan rule of law. Dsisi lain pesta stabilisasi pada era Jokowi ini, ditopang oleh dua UU. UU Terorisme dan UU ITE. UU ITE didekorasi dengan teks yang  sangat elastis.

Tesk elastis selalu menjadi hadiah terbesar kepada aparatur hukum. Mengapa? Teks tipikal UU ITE itu menjustifikasi tafsir purposivistis. Tafsir yang dikerangkakan pada kepentingan politik. UU ini, suka atau tidak, sama kejamnya dengan UU subversi.

Canggih kerja politik, entah stablisasi atau sekadar melokalisir kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintah. Dimana letak canggihnya? Menkopolhukam mendekorasi politik dengan, entah gagasan atau bukan, pengaktifan polisi siber. Model polisi GESTAPO pada erranya Nazi Hitler. Kemampuan polisi siber, kata Pak Menteri, luarbiasa. Jam 8 pagi anda menyebarkan pikiran-pikiran, yang berkualifikasi tindak pidana, dua jam kemudian sudah bisa diidentifikasi. Malah ditangkap. Canggih.

Entah ada atau tidak plot mengisolasi kalangan aktivis Islam kritis, datanglah Perpres RAN PE. Dan menariknya, Komjen Pol. Listyo Sigit yang pernah jadi ajudan Presiden Jokowi, dinominasikan oleh Presiden untuk menjadi Kapolri.

Pak Komjen Sigit mengagumkan. Pak Komjen yang bakal jadi Kapolri ini menunjukan kelasnya ketika di fit and proper test. Beliau berkomitmen menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsif, dan transparansi berkeadilan atau presisi. Tidak itu saja. Pak Komjen ini tegas menyatakan “Polri tidak boleh menjjadi alat kekuasaan”. Apakah prediksi Kepolisian dibawah Pak Sigit nanti meliputi dan menjangkau hingga ke “potensi” ekstrimisme atau hanya sebatas ekstrimisme aktual?

Kalau ekstrimisme aktual yang menjadi sasaran prediksi, maka soalnya bagaimana Pak Sigit memaknai terminologi “keyakinan” yang dinyatakan dalam Perpres RAN PE itu? Ini krusialnya. Kalau ekstrimisme aktual yang titik bidik, hukumnya adalah terorisme. Kalau potensi ekstrimis, tak bisa pakai UU Terorisme.

Mau pakai Perpres RAN PE untuk potensi ekstrim? Tidak bisa. Inilah soalnya. Tetapi justru dititik itulah letak pijakan politisi Perpres RAN PE.  Apa nalarnya? Untuk yang potensi ekstrim, diberi lebel sebagai eksrimis. Lebel ini lebih menakutkan dari pada lebel “terpapar faham radikal.” Itulah black box-nya.

Kenyamanan kekuasaan terproteksi sudah. Wajah dan tampilan kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa depan, diwarnai dengan tuduhan ekstrimis kepada perorangan dan kelompok tertentu. Kebebasan eskpresi menjadi serba dibatasi. Itulah sekelumit harga katastropik Perpres RAN PE, yang berkarakter asal terbit dan suka-suka ini.

Sumber: Fnn.co.id


latestnews

View Full Version