View Full Version
Sabtu, 21 Mar 2020

Perempuan antara Deklarasi Beijing+25 dan Badai Covid-19

 

Oleh : Dessy Fatmawati, S.T

 

“Ada 25 tenaga medis yang di Jakarta yang terkonfirmasi positif COVID-19, satu meninggal," kata Anies dalam konferensi pers di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (20/3/2020).

Dalam menghadapi covid-19 tidak ada perbedaan pendapat di kalangan pemangku kebijakan, segenap nakes, ulama dan kaum intelektual bahwa covid-19 ini tidak bisa ditangani menggunakan standar biasa. Harus dikerahkan seluruh daya upaya untuk mengakhirinya. Seruan untuk social distracting (jaga jarak sosial), lockdown (mengunci kota), dan tes massal terus menggema dari berbagai kalangan.

Per 21 Maret BNPB mengumumkan jumlah pasien positif covid-19 di Indonesia berjumlah 450 orang dengan 20 orang sembuh dan 38 meninggal dunia. Tim peneliti dari ITB memperkirakan adanya pergeseran puncak pandemi yang awalnya akhir Maret menjadi pertengahan April. Hal ini karena data yang berhasil dihimpun lebih mirip kasus di USA dibanding di Korea Selatan.

Di tengah dominasi informasi covid-19 yang bersliweran di berbagai lini media, bulan Maret sebetulnya adalah momen peringatan tahunan persebaran ide feminisme sejak tahun 1913. Terlebih pada tahun 2020 adalah tepat peringatan 25 tahun Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing oleh PBB. Dimana tahun 1995 terdapat 189 negara, termasuk belasan negeri-negeri Muslim memyepakati dokumen yang bertujuan peningkatan kesetaraan gender dalam 12 “Bidang Perhatian Kritis”.

Tahun 2020 sebetulnya adalah momentum tepat menagih janji bagaimana perjuangan ini telah bergulir selama 114 tahun sejak pencanangannya dan 25 tahun sejak deklarasi Beijing. Apakah benar bahwa ‘ketidaksetaraan’ adalah biang masalah bagi perempuan? Sebelum badai covid-19 menyerang, dari sisi belitan kemiskinan World Population Review menyatakan masih ada 68 negara yang memiliki angka ketimpangan lebih tinggi dari 145 negara yang disurvei. Termasuk Singapura, Hong Kong, Arab Saudi, bahkan Malaysia dan Thailland (Pertemuan tahunan World Economic Forum 2020 di Davos).

Bank Dunia mencatat bahwa tingkat kemiskinan di beberapa wilayah di Indonesia pada 2019 masih tinggi, terutama di wilayah Indonesia timur. Padahal diketahui memiliki aset kekayaan alam berlimpah, seperti Freeport di Papua.

Laporan Oxfam mengungkapkan, bagaimana pemerintah memperburuk ketidaksetaraan dengan menyediakan dana terbatas untuk pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, pemerintah gagal meningkatkan pembayaran pajak untuk orang kaya maupun perusahaan besar. Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pihak paling terpukul akibat peningkatan ketidaksetaraan ekonomi ini. Sesungguhnya kemiskinan menimpa seluruh rakyat baik laki-laki maupun perempuan.

Dari sisi kekerasan seksual, ‘ketidaksetaraan’ hampir selalu ditarik menjadi akar masalah kekerasan seksual pada perempuan. Namun data berbicara lain. Kekerasan seksual ini juga dialami oleh laki-laki. "3 dari 5 perempuan mengalami pelecehan di ruang publik. Sementara 1 dari 10 laki-laki juga mengalami pelecehan di ruang publik," kata relawan Lentera Sintas Indonesia, Rastra Yasland.

Penelitian yang diterbitkan American Journal of Preventive Medicine tahun 2018 menyatakan hampir 1 dari 18 wanita dan 1 dari 40 pria pernah mengalami pelecehan di tempat kerja. Sebuah penelitian di AS menyebutkan, hampir 7 juta wanita dan 3 juta pria pernah mengalami penyerangan seksual yang tidak diinginkan oleh bos, supervisor, rekan kerja, pelanggan bahkan klien.

Nasib perempuan setelah covid-19 masuk ke Indonesia

Kegagapan pemerintah dalam penanganan pandemi covid-19 ini membawa perempuan pada kondisi ‘simalakama’. Feminisme yang selama ini berada dalam naungan kapitalisme telah menggariskan bahwa dalam mengejar ‘kesetaraan’, konsekuensi logis yang harus terjadi adalah perempuan dicetak menjadi pekerja. Sama sekali tidak ada cetakan sebagai istri terlebih ibu generasi. Efek dominonya adalah kaum lelaki merasa tidak perlu ada tanggung jawab nafkah bagi perempuan yang telah ‘mandiri’ yang menjadi tanggungannya. 

Kebijakan setengah lockdown dengan meliburkan anak-anak dari sekolah membongkar kegagapan perempuan dalam mendidik anak terlebih yang belum baligh. Tersebar keluhan demi keluhan bahwa para ibu kelimpungan dan kewalahan menghadapi kondisi anak masing-masing. Pun demikian anak bersuara perihal bundanya lebih galak, lebih tidak sabar, lebih buruk dalam mengajar dibanding guru mereka di sekolah. Namun apa daya, kegagapan ibu ini didiamkan oleh aktivis feminisme dan negara demi label negara yang komitmen pada kesetaraan gender.

Kondisi berikutnya, ketelibatan perempuan dalam penanggung nafkah menempatkan perempuan terpapar langsung persebaran virus covid-19 ini. Gaungan lockdown yang terus bergulir membuat kecemasan memburuk di kalangan perempuan. Meski para perempuan bekerja ini memiliki potensi tinggi menjadi carrier virus covid-19 hingga sakit, namun semua itu diterabas demi sesuap nasi. Tentu saja hal ini diamini aktivis feminisme dan negara atas nama pertumbuhan ekonomi.

Jika saja, perempuan dibiarkan di dalam koridornya, tidak dipaksa keluar jalur, tak memaksakan sesuatu yang mustahil didapatkan, maka tak ada ibu yang gagap mendidik generasi yang lahir dari rahimnya sendiri. Pun tidak ada perempuan yang harus antara hidup dan mati demi titel berpenghasilan dan pertumbuahan ekonomi.

[Mari Kembali ke Illahi] – Sudah cukup klaim-klaim kesetaraan gender ditelan oleh perempuan. Sudah cukup perjalanan perjuangan yang berusia seratus tahun lebih digenggam. Nyatanya bahkan dengan deklarasi Beijing pun nasib perempuan tak pernah beranjak lebih baik. Pandangan penyelesaian kehidupan yang berasaskan gender harus diubah dan diganti ke pandangan yang lebih tepat; yakni memandang manusia, baik laki-laki dan perempuan dengan sudut pandang hamba. Sebagai hamba yang lemah dan terbatas, yang memiliki Tuhan yang Maha Kuasa.

Sebaran covid-19 di negeri-negeri muslim membawa hikmah. Bisa jadi peristiwa ini adalah teguran. Teguran bagi hamba yang berlagak menjadi Tuhan dengan seenaknya membuat aturan sesuai hawa nafsu mereka.

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”

Dalam Islam telah ada koridor aturan khusus bagi perempuan dan laki-laki. Meski nampak mustahil, nyatanya covid-19 memaksa perempuan ‘kembali ke rumah’, hadir untuk putra-putrinya. Pun makhluk Allah bernama covid-19 menjadikan sholat jamaah menjadi sedemikian langka, mewah dan berharga bagi kaum laki-laki.

Sehingga ketika perempuan sudah dipersiapkan sejak awal menjadi ummu warobatul bait dan ummu madrosatul ula seperti yang diwajibkan dalam Islam, maka tak ada kekhawatiran ketika anak-anak kembali ke rumah, karena akan tetap mendapatkan pendidikan terbaiknya. Bukan tergagap kebingungan bagaimana menghadapi lockdown di rumah atau bahkan stress dibuatnya. Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version