View Full Version
Sabtu, 20 Jun 2020

Tiga Langkah Mengatasi Utang di Tengah Pandemi (Tinjauan Syariat)

 

Oleh: Dian Nurmala Sari

Posisi utang Indonesia saat ini terus membumbung tinggi seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan akibat pandemi Covid-19. Baik karena defisit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat di masa pandemi. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mencapai 6,27% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp1.028,5 triliun. Sebelumnya, defisit APBN tahun ini hanya ditetapkan sebesar 5,07% atau Rp852,9 triliun, tetapi diperlebar untuk pemulihan ekonomi pascapandemi virus corona (kontan, 1/6/2020).

Jeratan Utang Mengancam Kedaulatan Negeri

Masalah yang tak kunjung tuntas ditangani oleh negeri ini adalah jeratan utang luar negeri yang tak kalah membahayakan dari wabah virus corona. Pinjaman utang pada negara atau lembaga keuangan dunia yang dilakukan Indonesia salah satunya disebabkan pemerintah yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Utang luar negeri merupakan bentuk penjajahan dalam sektor ekonomi dan sektor lainnya. Terbukti, pada akhirnya kebijakan utang luar negeri akan memengaruhi birokrasi dan kebijakan-kebijakan lainnya dalam suatu negara. Konsekuensi politis utang ini pun kentara dalam banyak kebijakan dan produk perundang-undangan. Apabila ditinjau dari segi ekonomi syariah, aktivitas menumpuk hutang dengan beban bunga yang tinggi akan menjerumuskan sebuah negara dalam jebakan riba (debt trap).

Tentunya ini menjadi pintu masuk penghancuran negara-negara yang sedang mengalami krisis ekonomi. Sebab dalam sistem ekonomi kapitalis tidak ada makan siang gratis (there is no free lunch). Selain itu, kedaulatan negara pun terancam. Utang yang diterima setiap negeri Muslim tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang berutang dan kedaulatan yang terinjak-injak.

Islam Solusi Tuntas Menangani Persoalan Utang Luar Negeri

Islam memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda:

 “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR. Muslim).

Ditinjau dari sistem ekonomi Islam, apabila negara mengalami defisit anggaran maka negara akan merumuskan langkah-langkah sebagai strategi penanganan. Ada beberapa langkah yang seharusnya bisa menjadi rujukan bagi dunia saat ini, yakni:

Pertama: Negara akan fokus pada peningkatan pendapatan negara. Dimulai dari pengelolaan harta baitul mal sebagai pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam. Sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu pendapatan negara dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.  

Zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak) adalah sumber pendapatan negara di bidang lain. Kemudian ada juga hima pada sebagian harta milik umum, yakni pengkhususan harta oleh penguasa  untuk suatu keperluan khusus dan tidak boleh untuk keperluan lain. Sebagai contoh, harta untuk menangani wabah di suatu wilayah. Hal yang dapat dilakukan oleh negara adalah penarikan pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariat, yang hanya akan ditarik ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dengan umat. Negara juga memiliki kewajiban mengoptimalkan pemungutan pendapatan agar tidak ada rakyat yang terdzalimi.

Kedua: Negara dalam Islam di masa defisit haruslah mengurangi dan menghemat pengeluaran. Khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak termasuk kategori mendesak.

Ketiga: Berhutang (istiqradh). Penguasa dalam Islam yakni Khalifah secara syar’i boleh berhutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat pada hukum-hukum syariat. Haram hukumnya Khalifah mengambil hutang luar negeri, baik dari negara tertentu seperti USA dan China, atau Lembaga Keuangan Internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya adalah hutang tersebut mengandung unsur riba dan dipastikan mengandung syarat yang menghilangkan kedaulatan negara yang berhutang. Khalifah hanya boleh berhutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di baitulmal tidak segera tersedia.

Kondisi tersebut terbatas pada tiga pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqaha, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah: (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara dll: (3) untuk membayai dampak dari peristiwa luar biasa, seperti menolong korban bencana alam, kelaparan dll. Pada tiga kondisi yang telah disebutkan diatas, jika dana dibaitulmal tidak cukup maka khalifah boleh memungut pajak bersyarat. Namun jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan menimbulkan bahaya (dharar) maka khalifah boleh berhutang.

Penyelesaian ini, secara bersamaan akan menjatuhkan cengkeraman negara-negara barat kapitalis atas negara-negara Islam, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi negera-negera Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum Muslimin bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekayaan yang amat besar.

Tidak ada cara yang bisa ditempuh untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan Kapitalisme sekuler kecuali dengan kembali menerapkan syariah islam secara totalitas di bawah snaungan sebuah negara. Karena Islam bukan sekedar agama yang mengatur masalah ibadah ritual saja melainkan juga mengatur masalah sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan muamalah. Hanya Islam yang memberikan solusi tuntas dengan aturan menyeluruh yang telah Allah SWT turunkan melalui Jibril AS kepada Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version