View Full Version
Ahad, 06 Sep 2020

Pengkhianatan dalam Bingkai Perdamaian UEA-Israel

 

Oleh: Emil Apriani, S.Kom 

Langkah Uni Emirat Arab (UEA) meraih kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel membuat dunia kaget. Reaksi masyarakat internasional terbelah antara mendukung dan menolak kesepakatan tersebut. Namun kesepakatan itu memicu kemarahan di sebagian besar negara Muslim dan dianggap mencederai upaya memerdekakan Palestina.

Palestina merupakan negara pertama yang bereaksi menolak dan mengecam kesepakatan damai tersebut. Menurutnya hal itu merupakan penghianatan dan menyebut kesepakatan yang ditengahi oleh Amerika Serikat (AS) ini sebagai ‘tusukan di belakang yang berbahaya’.

Kamis (13/8/2020), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan dari gedung Putih, Washington DC bahwa Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) telah mencapai kesepakatan damai untuk menjalin hubungan resmi diantara mereka.

Kesepakatan dalam normalisasi hubungan Israel-UEA tercapai setelah Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri (Israel) Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota UEA Mohammed bin Zayed melakukan pembicaraan via telepon. “Terobosan bersejarah ini akan mengarah pada kemajuan proses perdamaian di Timur Tengah.” seperti dilansir Al-Jazirah pada Jumat (14/8). (Republika.co.id, 14/8/2020).

Dari kesepakatan tersebut, Israel akan menangguhkan rencananya untuk menganeksasi sebagian besar Tepi Barat yang diduduki.

Kesepakatan damai itu serta merta membuat Palestina geram dan kecewa. Gerakan perlawanan Hamas menolak kesepakatan damai tersebut dan menganggapnya sebagai "tikaman" dan pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.

Setelah perjanjian damai Mesir-Israel pada 1979, diikuti dengan perjanjian damai Israel-Yordania pada 1994, kesepakatan ini menjadikan UEA sebagai negara Teluk pertama dan negara Arab ketiga yang menormalisasi hubungan dengan penjajah Israel setelah Oman, Bahrain, dan kemungkinan diikuti Maroko. Hubungan rahasia Uni Emirat Arab dan Israel telah berlangsung lama selama bertahun-tahun, tetapi rincian waktu dan kesepakatan normalisasi ini dirahasiakan hingga menit terakhir.

Untuk rakyat Palestina tidak ada keuntungan dari kesepakatan ini, bahkan akan berimplikasi luas dengan semakin beratnya perjuangan Palestina untuk menjadi negara merdeka dari Israel. Satu per satu negara tetangga di Palestina lebih mengedepankan kepentingan bilateral dengan Israel. Bahkan dengan normalisasi ini, kecaman-kecaman negara tetangga Arab tidak lagi menguat.

Nasib umat Islam, khususnya di Palestina semakin tidak menentu. Kejahatan Israel dengan merampas tanah suci umat Islam seolah makin disepakati oleh negeri-negeri Muslim di sekitarnya.

Sejak runtuhnya Daulah Khilafah Utsmani pada tahun 1924, kaum Muslimin tidak lagi memiliki perisai yang melindungi dari penjajah seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Israel. Daulah terpecah belah menjadi negara bagian (nation state) dengan memperjuangkan nilai nasionalisme. Negeri kaum Muslim berubah menjadi negara pengekor yang sebagian besar penguasanya diisi oleh para penguasa boneka dari negara penjajah. Negara imperialis inilah yang selama ini merawat dan menjaga entitas penjajah Yahudi di Palestina agar eksis di tanah Palestina.

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh penguasa Uni Emirat Arab (UEA) dan negara-negara Teluk lainnya masih berkontribusi dalam normalisasi secara rahasia, semakin menegaskan kedudukan mereka sebagai penguasa boneka. Maka tidak heran jika mereka dengan mudahnya dan tidak malu membuat berbagai kebijakan dengan para penjajah kaum Muslimin seperti AS maupun Israel. Dan mengkhianati rakyat Palestina, Yerussalem serta Al-Aqsa.

Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan umat Muslim di Palestina dan negeri Muslim yang lain kecuali dengan mengembalikan Daulah Khilafah sebagai perisai umat Muslim. Khilafah akan mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan melindungi keutuhan Islam. Seperti yang dilakukan Sultan Abdul Hamid II yang menolak sama sekali segala bentuk penyerahan tanah Palestina kepada kaum kafir meskipun hanya sejengkal.

Rasulullah Saw bersabda :

“Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang Imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka dia (Khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)

Wallahu'alam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version