View Full Version
Senin, 19 Oct 2020

Penghargaan sebagai Negara Pengutang, Malu atau Bangga?

 
Oleh: Lisia Faris, S.E.
 
Baru-baru ini Indonesia dinobatkan sebagai "Best Public Debt Office/Sovereign Debt Management Office in East Asia Pacific” yang berarti Indonesia merupakan negara pengelola utang terbaik se-Asia Pasifik Timur tahun 2020. Penghargaan tersebut diberikan oleh Global Markets, surat kabar Internasional milik International Monetary Fund (IMF). 
 
Kementerian Keuangan RI merespon sangat gembira dan mengatakan bahwa ini merupakan penghargaan luar biasa. Tahun 2020 adalah tahun yang tidak terduga dan tanpa kepastian (unprecedented). Para kreditor sangat rigid dalam memberikan suntikan utang, namun Indonesia tetap berhasil mendapatkannya. Hal ini diklaim sebagai bukti bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat paling cerdas di Asia Pasifik.
 
Kalimat mentereng “Best Public Debt Office/Sovereign Debt Management Office in East Asia Pacific”; terjemahan bebasnya berarti Indonesia dinobatkan sebagai juara tukang ngutang se-Asia Pasifik Timur. Dalam referensi lain bisa diinterpretasikan Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara berpendapatan rendah-menengah (low-middle income) dengan utang luar negeri terbesar. Bukankah ini penghargaan negara tekor paling bergengsi? 
 
Reward atau penghargaan merupakan insentif menyenangkan yang bisa menjadi motivasi tetap dilakukannya sebuah tindakan. Inilah insight chapter keempat buku karangan James Clear, the Atomic Habits: make it satisfying. Pemberian penghargaan atas suatu pencapaian menghasilkan sensasi kebahagiaan dan kepuasan. Dari sini otak menghasilkan hormon endorphins, yang menuntut craving baru yaitu hasrat untuk mendapatkan kenikmatan lagi. Maka tindakan berulang yang sama akan terus dilakukan untuk mempertahankan status quo tersebut.
 
Secara alamiah, otak manusia cenderung untuk berpikir gaining pleasure and avoiding pain; mengejar kenikmatan dan menghindari penderitaan. Maka, jika ingin membentuk habits baru atau mempertahankan habits yang sudah ada, ciptakan kepuasan sebanyak mungkin saat melakukannya. Pemberian reward adalah salah satu strateginya. 
 
Sepertinya pola perilaku ini yang terjadi pada Indonesia, ngutang dilakukan bukan lagi karena kebutuhan, tapi sudah level hobi, habits, bahkan adiksi (kecanduan). Mengutip laporan Bank Dunia  (World Bank) bertajuk International Debt Statistics 2021, utang luar negeri Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yakni sebesar US$179,4 miliar pada 2009. Kemudian sebesar US$307,74 miliar pada 2015, US$318,94 miliar pada 2016, US$353,56 miliar pada 2016, sebesar US$379,58 miliar pada 2018 dan sebesar US$402,08 miliar pada 2019. Pencapaian tren naik yang sama sekali tidak layak dibanggakan, terlebih dirayakan. 
 
Dalam sistem kapitalisme, ngutang memang didesain sebagai exit strategy defisit keuangan, bahkan menjadi komponen inherent dalam penyusunan APBN. Tradisi kebiasaan ngutang ini selalu dilakukan turun temurun, tidak peduli siapapun rezim yang berkuasa. Tapi dari semua habit ngutang tersebut, ada kesamaan pola yang terbentuk: mayoritas utang itu bersifat jangka panjang. Misalnya, komposisi utang luar negeri jangka panjang Indonesia pada 2019 sebesar US$354,54 miliar atau 88,8% dari total ULN, sedangkan jangka pendek sebesar US$44,79 miliar.  (cnnindonesia.com)
 
Pada April 2020 lalu, pemerintah Indonesia juga merilis global bond (obligasi dengan denominasi mata uang asing) sebesar US$ 4,3 miliar (bisnis.tempo.com). Global bond yang diklaim sebagai yang terbesar dalam sejarah ini dinilai aman karena berjangka panjang, tenor 10, 30 dan 50 tahun. Hal ini berarti pemerintah Indonesia telah ngutang kepada kreditor asing dengan menjual obligasi senilai sekitar 68 triliun rupiah.  
 
Utang ini akan jatuh tempo dan harus dilunasi oleh pemerintah masa depan yang kebetulan beruntung menjabat pada 10, 30, dan 50 tahun ke depan. Inilah yang disebut utang warisan (debt legacy). Jangan lupa, utang itu denominasinya Dolar AS. Inflasi sebagai kutukan abadi pada mata uang kertas, bisa dipastikan akan terus menggerus nilai Rupiah dan menjadikan beban hutang luar negeri Indonesia di masa datang semakin membesar dengan sendirinya. 
 
Dari pola utang jangka panjang ini jelas terbaca bagaimana karakter asli para penguasa yang terpilih di sistem demokrasi: serakah dan oportunis. Sewaktu masih menjabat berlomba-lomba ngutang untuk gaining pleasure, berupa kenikmatan mendapatkan guyuran dana segar sekaligus menambal defisit keuangan. Juga avoiding pain, berupa terhindar dari kewajiban membayar utang pada masanya berkuasa. Penguasa mana di sistem demokrasi yang akan terus menjabat sampai tenor obligasi jatuh tempo dalam 10, 30, dan 50 tahun?
 
Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per Agustus 2020 tercatat di level 34,53%. Bagaimana APBN bisa dioptimalkan untuk pembiayaan berbagai fasilitas dan layanan publik, jika sebagiannya telah tersedot untuk membayar utang dan bunganya yang semakin tahun semakin naik? Inilah utopi sejahtera dalam kapitalisme. 
 
Padahal, ada sistem ekonomi yang terbukti tahan krisis, yang proporsi pendapatan dan pembiayaannya bisa dipastikan tanpa pajak dan hutang. Sistem ekonomi ini bukan berasal dari hasil pemikiran akal manusia yang terbatas, tapi berasal dari sang Pencipta semesta, yaitu sistem ekonomi Islam.
 
Tidakkah kita ingin segera keluar dari lingkaran setan debt trap yang menyengsarakan dan beralih pada sistem yang menyejahterakan dan menjadi rahmat untuk seluruh alam? Tidakkah kita ingin mendapatkan award bergengsi yang sesungguhnya, yaitu gelar taat pada aturan Rabb-nya? Bukan sekadar award negara tekor yang tragis dan konyol seperti saat ini. (rf/voa-islam.com)
 
Ilustrasi: pikiranrakyat

latestnews

View Full Version