View Full Version
Ahad, 20 Dec 2020

Dinasti Politik Meningkat, Gurita Kekuasaan Menguat

 

Oleh: Rismayanti Nurjannah

Rumor Jokowi hendak membangun dinasti politik, tampaknya bukan lagi kabar burung. Faktanya, keluarga terdekatnya, yakni Gibran Rakabuming sebagai anak pertama dari pernikahan Jokowi dan Iriana berhasil meraih tampuk kekuasaan sebagai Wali Kota Solo 2020. Pun dengan menantunya, Bobby Nasution menjadi orang terpilih di Medan pada Pilkada 2020.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. "Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota," kata Ujang kepada Kompas.com (nasional.kompas.com, 18/7/20)

Menyoal dinasti politik ini, media Inggris menyoroti soal sumpah Jokowi pada masa kepemimpinannya. ‘True to his image as an outsider, he vowed that budding politicians in his family would not ride on his coat-tails, writing in his autobiography, published in 2018, that “becoming a president does not mean channelling power to my children”. (economist.com, 3/12/20)

Dalam artikel tersebut, Jokowi bersumpah bahwa para politisi baru di lingkaran keluarganya tidak akan bergantung kepadanya. Namun, rupanya faktanya tak demikian. Politik berdasarkan kekerabatan begitu erat. Kepemimpinan teraih berdasarkan hubungan “biologis” bukan “ideologis”. Jika tak ada track record yang mumpuni dalam soal politik, maka yang dikhawatirkan adalah lahirnya pemimpin-pemimpin karbitan yang mengandalkan popularitas keluarganya.

Dinasti Politik Mencederai Demokrasi?

Wajah perpolitikan Indonesia, akhir-akhir ini kerap diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang kian menguat. Tak hanya di level nasional, tapi juga di tingkat daerah.  Dalam riset terbaru Nagara Institute, ada 124 calon kepala daerah (cakada) dalam Pilkada 2020 yang terafiliasi dengan dinasti politik. Rinciannya, sebanyak 57 kandidat adalah calon bupati, 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota, delapan calon wakil wali kota, lima calon gubernur dan empat calon wakil gubernur. (republika.co.id, 16/10/20)

Kandidat dinasti politik dari tahun ke tahun kian meningkat, ditengarai pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menghalalkan dinasti politik. Alhasil, ini menjadi celah bagi para petahana untuk memperpanjang gurita kekuasaannya dengan menghadirkan wajah-wajah baru dari kerabat terdekatnya. Sekalipun tidak memiliki track record perpolitikan yang patut diperhitungkan. Bukan tidak mungkin, pemimpin yang lahir minus aspek integritas, akseptabilitas serta kredibilitas dalam memimpin negeri.

Demokrasi yang diharapkan mampu menghilangkan praktik nepotisme di tengah-tengah masyarakat, rupanya malah menumbuhsuburkan praktik tersebut. Kekuasaan yang dianggap sebagai privilege bagi kelompok tertentu, kerap memudahkan membangun dinasti politik kekuasaannya. Sayangnya, penunjukan kekuasaan dalam demokrasi bukan berdasarkan aspek kredibilitas dan integritas. Melainkan lebih karena hubungan kekerabatan semata.

Kekuasaan yang dibangun bukan karena aspek “ideologis” tentu akan menghilangkan muruah pemimpin. Tidak menutup kemungkinan, rentan berpotensi lahirnya konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan hingga coat-tail effect . Karenanya penting, membangun kepemimpinan bukan hanya karena apek biologis, tetapi juga karena aspek ideologis.

Islam dan Sistem Penunjukkan Kepemimpinan

Dalam Islam sistem penunjukkan kepemimpinan berdasarkan kekerabatan tidak selamanya keliru. Karena hal ini berbeda secara diametral dengan sistem penunjukkan di sistem demokrasi. Dalam demokrasi, dinasti politik kerap berakhir penuh sengkarut. Bermuara pada oligarki kekuasaan yang rentan penuh keculasan. Pasalnya, aspek biologis yang kerap dikedepankan. Sementara dalam Islam, aspek ideologis lebih dikedepankan dalam memilih seorang pemimpin.

Islam menggariskan, tidak sah seseorang menjadi pemimpin kala ia tak mendapatkan akad baiat dari rakyat yang dipimpinnya. Dalam berbagai hadis diriwayatkan, baiat sebagai satu-satunya metode pengangkatan khalifah (kepala negara). Jadi bukan karena ia lebih dekat dan ia tidak lebih dekat dengan pemimpin, melainkan karena integritas dan kapabilitas ia sebagai pemimpin. Sehingga umat merasa layak akan kehadirannya dan rida untuk membaiatnya.

Jika dalam berbagai periwayatan dikisahkan terpilihnya Umar bin Khattab sebagai Khalifah karena wasiat Abu Bakar, tentu maknanya tak demikian. Sesungguhnya wasiat tersebut bukanlah bermakna pewarisan, melainkan karena Abu Bakar melihat banyak keutamaan pada diri Umar ra., sehingga ia dipandang layak menggantikan posisinya sebagai Khalifah.

Terpilihnya Umar sebagai Khalifah pun karena berdasarkan mayoritas pendapat kaum muslim yang menghendaki Umar yang akan menggantikan Abu Bakar ra., maka Abu Bakar pun menunjuknya. Namun, penunjukkan atau pencalonan itu bukanlah akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah, melainkan pandangan Abu Bakar terkait sosok yang pantas menjadi Khalifah kaum muslimin sepeninggalnya. Seandainya, pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kekhilafahan kepada Umar, tentu tidak lagi diperlukan baiat kaum muslim.  

Begitulah pola kepemimpinan yang ideal dalam Islam. Adapun kecacatan sejarah yang pernah terjadi, itu noda dalam panggung sejarah Islam. Bagaimana pun, kekhilafahan bukan negara teokrasi, melainkan negara manusiawi yang memungkinkan terjadinya kecacatan. Namun, kecacatan tersebut akan berusaha diminimalisasi dengan bimbingan wahyu Ilahi, yakni terterapkannya aturan Islam dalam kehidupan didukung dengan keimanan kepada Allah Swt. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version