View Full Version
Selasa, 22 Dec 2020

Fitrah Ibu di Masa Pandemi, Haruskah Dihargai Sebatas Materi?

 

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Bagaimana kabar Ibu, di hari ibu tahun ini?  Di tengah Pandemi yang belum nampak akan berakhir, setelah sembilan bulan telah berlalu. Sepanjang waktu itu, ibu banyak menghabiskan waktu di rumah. Bekerja dari rumah, mendampingi anak belajar di rumah, berkebun, memasak, atau menjahit. Semua aktivitas rumahan kembali melekat pada sosok ibu. Dan aktivitas keseharian sebagai ibu yang mendominasi kesehariannya di tengah wabah, disoroti oleh UNwomen sebagai indikasi putar baliknya kesetaraan gender dalam SDG's. (detik.com)

Dalam laporan UN Women bekerjasama dengan Ooredo yang dirilis tanggal 23 oktober 2020 tentang dampak gender dari pandemi untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengungkap bagaimana Covid 19 menunjukkan kerentanan terhadap guncangan ekonomi dan memperdalam ketidaksetaraan yang konon sudah ada di Indonesia sejak sebelum pandemi.

Ada tiga hal yang menurut mereka menurunkan kemajuan kesetaraan gender di negeri ini, saat Pandemi.

Pertama, perempuan mengalami penurunan pendapatan yang lebih besar daripada laki-laki.

Kedua, perempuan yang bekerja informal harus mengorbankan waktu bekerjanya lebih lama daripada waktu bekerja laki-laki.

Ketiga, pembatasan sosial membuat pekerjaan rumah tangga tak berbayar lebih banyak dikerjakan oleh perempuan.

Tema hari ibu, Perempuan Berdaya Indonesia Maju, adalah sebagai rekomendasi dari kondisi perempuan di Indonesia yang terbaca akan semakin sulit setara bila terus menikmati peran domestiknya. Bagi UN women dan kementerian Pemberdayaan perempuan, perempuan berdaya bila tetap menghasilkan uang. Peran domestik ibu karena tidak menghasilkan uang dianggap sebagai aktivitas sia-sia, jauh dari wujud berdayanya perempuan.

Bisa ditebak alur lanjutannya akan seperti apa. Krisis ekonomi yang terjadi di tengah wabah menunjukkan kerapuhan ekonomi kapitalis. Seperti biasa pula, kesetaraan gender akan selalu diarahkan agar perempuan ikut menghasilkan uang. Selama ini sudah dilakukan perempuan, tetapi tetap saja mereka jauh dari kesejahteraan. Yang lebih sering ditemui adalah dilema antara berada di rumah atau berdiri sebagai perempuan pencari uang. Meninggalkan perannya sebagai seorang ibu, mengejar kesetaraan dan kebebasan sebagai ruh demokrasi, juga tidak pernah bisa membuahkan kebahagiaan.

Jelas sudah, sistem hidup sekular dengan sistem ekonomi kapitalismenya dan sistem politik demokrasinya gagal melindungi fitrah perempuan sebagai seorang ibu. Di tengah wabah atau di kondisi biasa. Ini sangat kontras dengan sistem kehidupan Islam. Islam mendudukkan peran perempuan yang utama adalah sebagai seorang ibu(Al umm)dan manajer rumah tangga(rabbatul bait). Perempuan bisa menikmati hidup di rumah dengan praktik resep masak, bercocok tanam, mendampingi anak bermain dan belajar didudukkan sebagai aktivitas mulia dan berbuah pahala. Di sinilah letak pemberdayaan perempuan dalam Islam, bukan karena materi tetapi karena peran vitalnya mendidik generasi, calon pemimpin bangsa.

Krisis ekonomi akibat pandemi  juga tidak terjadi dalam sistem Islam. Di samping kekuatan ekonomi dalam sistem Islam, sistem kehidupan Islam tidak akan membiarkan wabah ini berlarut-larut, apalagi berlanjut sampai sembilan bulan dan tidak tahu kapan akan berakhir. Seperti apa yang sudah dilakukan oleh Rasulullah dan para Khalifah sesudah beliau dalam menghadapi wabah dengan mengkarantina wilayah yang tertimpa wabah agar tidak menyebar ke luar wilayah. Niscaya, kita tidak akan mengalami efek domino dari kebijakan yang selalu menimbulkan masalah.

Pertimbangan karantina bukan karena masalah ekonomi, tetapi karena begitulah Allah dan Rasulullah memerintahkannya. Perempuan juga tidak akan pernah dituding untuk ikut bertanggung jawab meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga dan negara akibat gagalnya negara menangani wabah.

Sangat Indah bukan? Wabah selesai, perempuan tetap dengan aktivitas fitrahnya. Sayangnya semua itu tak akan dibiarkan saat perempuan masih hidup dalam sistem demokrasi sekular. Apakah kondisi seperti ini layak untuk dipertahankan?

Sungguh, tak ada yang lebih memahami perempuan dan peran fitrahnya kecuali Yang Mahamenciptakan. Oleh karena itu aturan yang berlaku seharusnya yang berasal dari Dia yang menciptakan manusia termasuk perempuan. Dari poin ini saja, sudah terlihat bahwa hanya Islam sebagai sistem yang mengambi aturan dari Dia yang menciptakan yang bisa mewujudkannya. Hanya satu masalahnya, manusia mau tidak diatur oleh sistem yang jelas berasal dari Sang Pencipta ini? Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version