View Full Version
Senin, 10 May 2021

Ironis, THR dicicil lagi?

 

Oleh: Khusnul Khatimah, S.Pd

Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah mengatakan, pihaknya masih melakukan kajian bersama terkait wacana THR dicicil atau tidak. Menurutnya, masih ada banyak waktu sebelum memutuskan skema THR yang tepat di tahun ini. Pihaknya pun akan melakukan pembahasan secepatnya bersama tripartit dan Dewan Pengupahan Nasional. Ida menjelaskan, hal yang sama juga dilakukan pada pembahasan THR tahun yang lalu. Oleh karenanya, apapun keputusan yang diambil tahun lalu dan nanti, sudah melalui pembahasan dengan semua pihak. (CNBC Indonesia, 26/03/2021)

Ketidakpastian skema pemberian THR membuat para buruh kecewa, lantaran THR adalah tambahan penghasilan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok. Masa pandemi yang belum usai hingga saat ini memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat terlebih yang memiliki gaji rendah. Jika kita teliti secara mendalam, para buruhlah yang lebih dirugikan dimasa pandemi ini. Kesengsaraan mereka akan bertambah parah jika THR Kembali dicicil seperti tahun lalu.

Ironisme para buruh dapat kita buktikan dengan peningkatan angka pengangguran sebanyak 1,5 juta orang kehilangan mata pencaharian mereka (Kemnaker, April 2020). Adanya potongan separuh gaji yang dilakukan oleh beberapa pengusaha terhadap para buruh dengan beban kerja yang sama disaat upah yang didapat adalah upah minimum menambah kesengsaraan yang diderita mereka. Padahal upah yang mereka peroleh sekedar untuk mempertahankan hidup tanpa merasakan kehidupan yang layak serta jauh dari kata sejahtera. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dengan elit pengusaha di negeri ini. Kita melihat sendiri di masa pandemi, mereka sudah mengoperasikan usaha mereka. Kerugian yang mereka alami mulai berangsur-angsur membaik.

Beginilah potret kesenjangan antara kaum buruh dan elit pengusaha yang mesra dengan penguasa. Elit pengusaha bebas mengeksploitasi kaum buruh dengan berbagai kebijakan yang didukung oleh penguasa. UU Cipta Kerja salah satu produk kebijakan yang menjadi bukti nyata pengistemewaan para elit penguasa. Kesenjaangan sosial yang terjadi antara pihak buruh dan pengusaha jika kita teliti karena kesalahan tolak ukur yang dipakai dalam pemberian gaji. Kaum buruh hanya mendapatkan gaji minimum dari hasil jerih payah mereka dalam bekerja.

Dalam menangani masalah THR yang merupakan bagian dari skema pengupahan seharusnya pihak penguasa memberikan rasa keadilan antara pengusaha dan pekerja. Penguasa memiliki peran dan tanggung jawab untuk tidak memberikan peluang kelonggaran bagi pengusaha yang akan merugikan pekerja. Penguasa harus mampu memetakan perusahaan mana saja yang memiliki kemampuan memberikan THR secara penuh dan tidak. Pemetaan ini dilakukan agar pengusaha dan pekerja bisa saling menerima secara ikhlas jika THR yang dibayar harus dicicil ataupun dibayar penuh.

Sistem kapitalisme yang dianut oleh negeri ini dan mayoritas dunia adalah penyebab utama kesenjangan antara kaum buruh dan pengusaha. Negara tidak memiliki tanggungjawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat. Mereka lebih mengistimewakan para pengusaha yang telah banyak membantu mereka dalam menduduki jabatannya. Dari sinilah kontrol pengusaha terhadap penguasa begitu ketat karena hubungan saling menguntungkan. Sistem ini pun menjadikan kaum buruh ibarat tulang punggung sektor produksi. Hak-hak kaum buruh banyak yang terabaikan.

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki solusi atas setiap permasalahan hidup, salah satunya dalam hal mensejahterakan rakyat tanpa memandang status buruh ataupun elit penguasaha. Akad ijarah diantara keduanya diatur dalam syariat Islam, yakni ketetapan terkait upah kerja, jenis pekerjaan, waktu kerja, adalah akad yang harus disepakati berlandaskan keridhoan kedua belah pihak.

Jika akad ijarah telah disepakati untuk suatu pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya. Apabila terdapat kesepakan mengenai THR atau tunjangan berbentuk lain, maka pengusaha diharuskan memberikan hal tersebut kepada para pekerjanya sesuai kontrak kerja. Apabila terdapat sengketa antara pekerja dan pemberi upah (majikan) maka peran penting para pakar (khubara’) yang akan menentukan upah sepadan bagi para pekerja yang dipilih oleh kedua belah pihak. Bila sengketa masih terjadi maka negara berperan memilki pakar dan memaksa keduanya mengikuti keputusannya.

Islam menetapkan standar gaji pekerja berdasarkan manfaat tenaga yang dikeluarkan oleh pekerja, bukan living cost terendah, sehingga tidak terjadi eksploitasi pekerja atas majikannya. Standar kesejahteraan dalam Islam tidak dihitung dalam pendapatan perkapita sebab tidak menggambarkan secara nyata taraf hidup masyarakat secara umum.

Distribusi kekayaan dipastikan merata secara adil ke seluruh individu masyarakat, baik kaya maupun miskin, kalangan buruh ataupun pengusaha. Tata cara ini hanya akan dapat diberlakukan jika penerapan syariat Islam secara kaffah diformalisasikan dalam bingkai sebuah negara yang berasaskan Islam semata, bukan dengan yang lainnya. Wallahu’alam bisshowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: kompas.com


latestnews

View Full Version