View Full Version
Ahad, 23 Jan 2022

Aksi 1000 Sesaji, Akankah Menjadi Solusi?

 

Oleh: Shita Ummu Bisyarah

Kota Malang dipenuhi 1000 sesaji dan dupa. Pasalnya warga Malang berbondong-bondong menghadiri diskusi Gerakan Lintas Agama yang diinisiasi oleh Hisa Al-ayyubi dengan tajuk "melawan intoleransi" pada Sabtu 22 Januari 2022. Diskusi ini merupakan reaksi atas kasus yang sempat viral beberapa waktu lalu, yakni pelemparan sesaji di daerah erupsi Semeru oleh HF.

Diskusi lintas agama ini diharapkan mampu memelihara keberagaman dan memupuk toleransi di Indonesia. Pasalnya setelah kejadian HF, toleransi di Indonesia seolah terciderai. Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal, intoleran, bahkan merusak keberagaman di Indonesia.

Narasi semacam ini bukan hanya sekali ini terjadi. Isu toleransi memang sedang berhembus kencang di seluruh penjuru negeri. Namun sayangnya toleransi yang dihembuskan kebanyakan justru kebablasan hingga mengampanyekan pluralisme berlebihan. Para pengusung Islam Moderat memandang prinsip toleransi yakni umat islam sebagai mayoritas harus melindungi umat yang minoritas di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Said Aqil mantan ketua umum PBNU. Prinsip ini menganggap semua agama sama-sama mengajarkan kemanusiaan dan keharmonisan, sehingga merupakan hal yang niscaya melakukan ritual agama lain.

Makna toleransi yang diusung penyeru Islam moderat ini justru berbahaya karena bisa kebablasan bahkan menjerumuskan kepada kesyirikan. Bahkan makna toleransi semacam ini jauh dari apa yang syariat atur dan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Alih-alih menjadi solusi dalam menjaga keberagaman dan kedamaian antar umat beragama, justru membuat celaka akidah umat.

Islam sejatinya mengatur toleransi dengan sangat elegan. Dalam catatan emas sejarah umat Islam yang berlangsung selama 14 abad, telah terbukti bagaimana syariat Islam mendudukkan toleransi dengan sangat adil sehingga tercipta kedamaian antar umat beragama.

Islam tidak pernah memaksa siapapun untuk masuk agama Islam. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 "Laa Ikraaha fid diin", tidak ada paksaan dalam masuk Islam, karena kebenaran dan kebatilan sudah sangat jelas, sehingga tidak perlu dipaksa untuk memasukinya. Islam juga mewajibkan berbuat baik kepada non muslim, menghormatinya, dan negara Islam wajib menjaga harta, darah dan kehormatan seluruh warga negaranya termasuk non muslim.

Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah dan par Kholifah setelah beliau. Seperti pada masa Umar bin Khattab, beliau melakukan perjanjian damai dengan pendeta Sofranius yang dinamai "perjanjian Ihdat Umariyah". Perjanjian ini memberikan jaminan kepada warga non-Muslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka.

Khalifah Umar tidak memaksa mereka sama sekali untuk memeluk agama Islam dan tidak menghalangi mereka untuk beribadah sesuai keyakinan agama mereka. Mereka hanya diwajibkan membayar jizyah bagi yang mampu membayarnya sebagai bentuk ketundukan pada pemerintahan Islam. Bahkan Khalifah memberikan kebebasna kepada mereka untuk tetap memasang salib-salibnya di Gereja al-Qiyamah.

Negara juga memperlakukan warga non-muslim dengan baik, memuliakan mereka dan bersikap adil tak pandang bulu di ranah hukum. Begitulah gambaran toleransi kaum muslim di ranah muamalah duniawi. Namun hal tersebut bukan lantas membenarkan keyakinan mereka. Di ranah akidah dan ibadah Islam sangat tegas kepada pemeluknya. Ritual-ritual agama lain jelas haram untuk dilakukan oleh kaum Muslim. Apalagi ritual yang bisa menjerumuskan kepada kesyirikan.

Sikap toleransi semacam ini membuat non muslim merasakan indahnya agama Islam dan memberikan teladan toleransi yang sesungguhnya. Hal ini dituturkan oleh Dr. Gustav Lypon dalam Arab Civilization mengatakan, “Kekuatan (power) tidak selamanya menjadi faktor penentu penyebaran ajaran al-Quran. Bangsa Arab (kaum Muslim) membiarkan orang-orang yang pernah memerangi negeri mereka hidup dengan bebas dalam menjalankan keyakinan agama mereka. Jika ada sebagian umat Kristiani yang memeluk Islam dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa kesehariannya, hal itu mungkin terjadi karena prinsip mereka yang melihat adanya keadilan di kalangan Arab yang tidak ditemukan di kalangan mereka, kaum non-Muslim. Mungkin juga karena mereka tertarik dengan sikap toleransi dan keramahtamahan yang ditampakan Islam; kedua sikap itu tidak dikenal dalam agama-agama selainnya”.

seorang orientalis Inggris, TW Arnold juga berkata, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).” (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hlm. 134).

Maka tuduhan bahwa jika Islam diterapkan dan kaum muslim mendominasi, akan terjadi kerusuhan dan perpecahan adalah tuduhan yang tak berdasar. Justru Islam lah yang memberikan contoh toleransi antar umat beragama dengan sangat bijak dan elegan. Bahkan Islam mampu selama 14 abad menjaga kedamaian antar umat beragama dan keberagaman dunia.

Maka ritual 1000 sesaji ini bukanlah cara bijak dalam menjaga perdamaian antar umat beragama, justru malah mendatnagkan murka Allah SWT dengan adanya kesyirikan dimana-mana. Harusnya kita mencontoh bagiamana Rosulullah  dan para Kholifah setelah beliau bertoleransi, yang telah terbukti mewujudkan perdamaian hakiki. Wallahualam bissawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version