View Full Version
Rabu, 01 Jun 2022

Isu Radikalisme Kampus = Topeng Islamofobia

 

Oleh: Ummu Naira Asfa

Isu radikalisme mulai diangkat kembali. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan dia mengantongi data kampus dan mahasiswa yang terpapar radikalisme.

Sebelumnya, Boy juga mengatakan ratusan pondok pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terduga teroris di berbagai wilayah (tempo(dot)co, 25/5/2022). Namun sayangnya lagi, data tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dan tidak dibuka.

Narasi-narasi seperti ini sebenarnya tidak menyelasaikan masalah isu radikalisme, namun justru menimbulkan kegaduhan dan kecurigaan berkepanjangan. Karena apakah kita lalu akan mencurigai semua kampus dan pondok pesantren kemudian memberi cap negatif kedua lembaga ini tempatnya orang-orang radikal? Tentu ini adalah kesimpulan yang ceroboh. Tanpa data otentik, kita tak bisa menyimpulkan apa-apa.

Isu Radikalisme Menyasar Islam Politik?

Setiap kali isu radikalisme diangkat, selalu yang menjadi sasaran objek pembahasan adalah Islam. Ada pihak-pihak yang sengaja menempelkan label radikal itu kepada Islam. Stigma negatif seperti Islam radikal, Islam fundamental, Islam ekstrimis dan seterusnya. Atau kepada masyarakat muslim dilabeli muslim radikal, muslim fundamental, muslim eksklufif, julukan kadrun (kadal gurun), intoleran dan seterusnya. Islam dan kaum muslim dipojokkan dan dicitraburukkan.

Menurut Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, karakteristik dari paham radikalisme adalah paham-paham yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila seperti terorisme dan kekerasan (tempo(dot)co, 25/5/2022). Namun sayangnya data-data berkaitan dengan radikalisme ini tidak pernah dibuka di publik oleh Lembaga negara secara resmi. Yang terjadi kemudian adalah kecurigaan dan kegaduhan yang tak jelas.

Radikalisme diarahkan kepada makna negatif dan buruk. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme/ra·di·kal·is·me/ diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik. Arti yang lain, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikalisme juga diartikan sebagai sikap ekstrem dalam aliran politik. Apakah Islam termasuk dalam definisi radikal menurut KBBI ini?

Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup sejatinya juga memiliki aturan dan cara memanajemen urusan publik seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik pemerintahan. Namun sayangnya, keholistikan Islam ini oleh sebagian orang dipahami sebagai sesuatu yang mengganggu kepentingan ideologi lain.

Islam politik ditakutkan akan mengganti ideologi bangsa yang sudah sekian lama dipakai untuk membangun negeri. Lebih parah lagi jika Islam diidentikkan dengan kekerasan karena ada aturan jihad, qishash atau hukuman potong tangan. Padahal kesemuanya itu dalam Islam ada aturannya, tidak boleh sembarangan dilakukan, hanya bisa dilakukan jika ada institusi politik Islam kaffah. Selain itu, jika ditelaah lebih mendalam dan dilihat secara jernih, hukum Islam itu sangat memanusiakan manusia (manusiawi) dan menjaga/menghargai jiwa manusia.

Makna Politik dalam Islam Tidak Radikal

Pegiat anti-radikalisme Haidar Alwi menyebut di Indonesia ada tiga radikalisme. Pertama, radikalisme secara keyakinan yaitu orang yang selalu menilai orang lain kafir dan akan masuk neraka kecuali kelompoknya. Kedua, radikalisme secara tindakan yaitu melakukan tindakan kekerasan fisik. Ketiga, radikalisme secara politik, yaitu ingin mengganti ideologi negara yang sah dengan khilafah (Alinea[dot]id, 14/11/2019).

Lalu, apakah Islam politik itu radikal dan harus diwaspadai? Bagaimana Islam memandang politik?

Jika kita pahami dengan benar dan mendalam, Islam memaknai politik sendiri sebagai ri’ayatus-su’unil ummah dengan maknanya memikirkan, mengelola dan mengatur urusan umat agar berjalan dengan baik dan benar sesuai syariat.

Dalam khazanah pemikiran Islam, politik yang disebut dengan سِيَاسَة (siyasatan). Kata ini diambil dari akar kata: سَاسَ - يَسُوْسُ, yang berarti mengurus, merawat, memelihara, memerintah dan sebagainya.

Politik dalam Islam berisi hal-hal tentang bagaimana peran negara memenuhi kebutuhan hidup rakyat mulai dari kebutuhan primer/pokok, sekunder dan tersiernya. Jadi, fokus dalam politik Islam adalah bagaimana agar kebutuhan rakyat terpenuhi, bukan tentang bagaimana dan siapa yang berkuasa. Khilafah sendiri adalah bagian dari ajaran Islam yang secara de facto dan de yure pernah diterapkan di dunia Islam. Jika kita adil menilai, banyak prestasi dan kegemilangan yang dicapai oleh kekhilafahan Islam dalam kurun waktu berabad-abad lamanya. Di dalamnya, rakyat dipenuhi kebutuhannya person to person oleh negara.

Edukasi tentang Islam politik ini yang belum sampai sepenuhnya kepada masyarakat. Islam belum dipahami dengan benar sehingga banyak yang masih memberi stigma negatif, fobia dengan Islam (Islamofobia), fobia dengan khikafah, hingga timbul kecurigaan dengan sesama muslim. Islam politik itu sejatinya mengayomi semua elemen agama dan masyarakat, bukan sesuatu yang harus ditakuti.

Radikalisme Kampus Topeng Islamofobia

Bagaimana dengan isu radikalisme kampus? Kampus seharusnya menjadi ruang terbuka bagi diskusi berbagai macam pemikiran, termasuk pemikiran tentang Islam sebagai sebuah ideologi dan aturan kehidupan (politik).

Diskursus tentang Islam politik termasuk pembahasan tentang khilafah bukanlah hal yang tabu karena khilafah adalah bagian dari ajaran Islam juga. Jika kemudian dibenturkan dengan isu radikalisme, itu adalah topeng dari islamophobia atau bentuk ketakutan berlebihan terhadap Islam. 

Begitupun jika ada cap mahasiswa atau dosen radikal. Jika dikaitkan dengan ide-ide radikal, sebenarnya ada yang lebih radikal dari Islam. Yaitu orang-orang yang getol menyuarakan kebebasan tanpa batas. Contohnya, mereka yang mengkampanyekan LGBT di tengah-tengah kampus, menyuarakan kebebasan dan hak asasi manusia, dan meninggalkan aturan agama/Tuhan.

Mereka itulah orang-orang yang radikal dan harus lebih diwaspadai karena secara radic (mengakar, kembali kepada akar pemikirannya) mereka telah menyelisihi kodrat kemanusiaan dari Tuhan dan melanggar sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Karena sejatinya Tuhan mereka adalah hawa nafsu, bukan Allah Swt. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version