View Full Version
Selasa, 16 Aug 2022

Kamuflase Investasi dengan Utang, Produktifkah?

 

Oleh: Nurhayati, S.S.T.

(Pengamat Kebijakan Publik)

 

Utang negara mencapai 7000T nampaknya masih dianggap baik-baik saja oleh petinggi negeri ini. Sebut saja Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan perihal utang Indonesia ini “produktif” karena dari utang justru digunakan untuk membiayai proyek infastruktur yang beberapa tahun terakhir jor-joran dilakukan oleh Pemerintah.

Bahkan Menko Marves membandingkan utang negara ini masih kalah banyak dibanding negara-negara lain di dunia.  Dikatakan oleh Menko Marves bahwa Indonesia punya utang terkecil di dunia yakni sekitar 40 persen sekian dari PDB itu dikelola dengan baik (republika.co.id, 8/8/2022).

LBP pun yakin utang tersebut dapat dibayar dengan berbagai proyek bagus. Terlebih Indonesia menggunakannya untuk proyek yang berkualitas, salah satunya Tol Serang-Panimbang yang saat ini telah berjalan progress ground breaking.

Utang, Menolong atau Merongrong?

Nampaknya sudah menjadi hal yang biasa kita dengar bahwa hampir seluruh proyek-proyek vital termasuk infrastruktur negeri ini didanai oleh utang. Utang yang sudah mencapai 7000T bagi kalangan pengamat dan ekonom sudah mengkategorikan jumlah yang sudah tahap berbahaya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh ekonom senior, Faisal Basri tentang posisi utang RI, menyebutkan bahwa meskipun angkanya masih dikisaran 40% dari PDB tetapi beban bunga sudah mencekik karena sudah mencapai 20% dari pengeluaran pemerintah pusat (cnbcindonesia.com, 20/8/2021).

Saat ini Beban utang RI dalam posisi tidak dalam keadaan baik-baik saja dan masuk dalam 5 besar dunia sehingga ruang fiskal pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, perlinsos hingga kesehatan menjadi terbatas karena 1/5 APBN digunakan untuk membayar bunga utang.

Mengapa utang dianggap memberikan solusi untuk pendanaan pembangunan negeri ini? Padahal jika kita meniliknya bahwa pinjaman luar negeri itu dikenakan bunga yang sangat tinggi, akhir tahun 2021 saja negara harus membayarkan bunga utang pemerintah mencapai Rp 343,5 triliun di tahun lalu (money.kompas.com, 4/1/2022).  Jumlah ini lebih tinggi dibanding tahun 2020 lalu bunga yang harus dibayarkan pemerintah adalah Rp 314,1, ada kenaikan sekitar Rp. 29,4 T. Bukankah ini menjadi beban untuk negara?

Kekayaan alam yang melimpah ruah ternyata bukan menjadi jaminan sebuah negara selamat dari jeratan utang. Sebut saja Indonesia yang memiliki tambang emas, nikel, penghasil minyak dan gas bumi terbaik di dunia justru menggantungkan hidupnya dengan utang. Alih-alih berkurang, justru setiap tahun mengalami peningkatan. Rakyat bukan sejahtera malah nelangsa tersebab beban hidup dan harga-harga yang semakin tidak terkendali.

Ini terjadi karena penerapan ekonomi kapitalisme yang menjadikan utang dan pajak merupakan sumber pembangunan ekonomi. Utang yang didapatkan pun adalah utang yang berbunga alias riba.  Dalam paradigme kapitalisme, utang yang diberikan oleh si peminjam bukanlah murni untuk tolong menolong tapi merupakan jalan untuk menguasai negara yang dipinjami dengan turut andil dalam mengontrol melalui kebijakan dinegara tersebut.

Yang terlihat sumber daya alam yang melimpah bukan mensejahterakan rakyat malah dikelola banyak oleh asing, pendek kata utang menjadikan negara menjadi tidak mandiri bahkan negara seperti menjadi tamu di negeri sendiri disebabkan mayoritas pengelolaan diserahkan kepada asing.

Pembangunan Produktif Tanpa Utang

Jika dalam sistem kapitalisme, utang adalah sumber utama pembangunan, adakah solusi untuk negara ini bisa keluar dari jeratan utang dan bisa mandiri secara ekonomi tanpa campur tangan asing lagYa, Islam sebagai agama yang syamil (sempurna) dan kamil (menyeluruh) memiliki solusi untuk pemberdayaan sumber daya yang dimiliki. Dalam ekonomi Islam, negara memiliki berbagai sumber pemasukan.

Pertama, harta kepemilikan negara yang meliputi enam macam harta, yaitu ghanimah (rampasan perang), kharaj (pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslim dengan jihad), sewa tanah milik negara, jizyah (pajak dari warga non muslim sebagai jaminan ketundukan meraka), fai (pemasukan dari barang temuan, waris yang tidak ada pewarisnya, harta sitaan), pajak (yang hanya ditarik dalam kondisi insidental dari muslim kaya apabila kondisi Baitul Mal benar-benar kosong).

Kedua, hasil dari pengelolaan harta kepemilikan umum, seperti barang tambang, hutan, dan lainnya. Ketiga, hasil dari pendapatan lain, seperti zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas dan perak.

Dengan sumber pemasukan yang beragam tersebut dan kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sektor rill dan produktif, pendapatan negara akan selalu ada dari masa ke masa.

Dengan penerapan politik ekonomi Islam, negara akan mandiri secara ekonomi, tidak terjerat pada utang ke negara lain, apalagi utang riba, yang sudah jelas diharamkan oleh Allah Swt. Negara juga tidak akan membebani rakyat dengan pajak sebagaimana kapitalisme saat ini memalaki rakyat dengan dalih pajak dengan berbagai jenis pajak.

Allah ta’ala menjanjikan jaminan kesejahteraan Ketika Islam diambil sebagai solusi dalam mengarungi kehidupan ini, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf:96). Wallahu ‘alam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version