View Full Version
Ahad, 18 Sep 2022

Harga BBM Melambung Tinggi, Benarkah Solusi Menyelamatkan APBN?

 

Oleh: Vani Nurlita Santi

*Mahasiswi Kota Malang

Harga bahan bakar minyak (BBM) per tanggal 03 September 2022 resmi dinaikkan oleh presiden Joko Widodo, hal ini mengacu pada angka kenaikan anggaran APBN negara yang digunakan untuk memenuhi subsidi BBM di Indonesia. Rentetan protespun dilakukan oleh berbagai pihak. Benarkah dengan menaikkan harga BBM merupakan solusi ampuh untuk menyelamatkan APBN negeri ini?

Argumentasi Pemerintah Untuk Menaikkan Harga BBM

Wacana kenaikan harga BBM yang ramai diperbincangkan masyarakat akhirnya mencuat ke kepermukaan. Pada tanggal 03 September 2022 kemarin pemerintah resmi menaikkan tarif BBM dari jenis pertalite, solar dan pertamax. Argumentasi pemerintah dalam kenaikan BBM ini dikarenakan subsidi BBM menyedot terlalu banyak APBN negara hingga membengkak mencapai angka Rp. 502 T.

Jika BBM menjadi sumber beban bagi APBN negara maka bisa dipastikan jika ada yang salah dengan tata kelola BBM yang ada di Indonesia. Kenaikan APBN hingga Rp. 502 T ini diiringi dengan tuduhan bahwa subsidi BBM mennyedot banyak anggaran dan tidak diikuti dengan penjelasan bahwa Indonesia juga mengekspor migas mentah ke negara lain. Jika harga migas dunia naik seperti yang dikabarkan pemerintah, maka otomatis penghasilan dari hasil ekspor migas ke negara lain juga akan semakin meningkat. Begitu pula dengan pengeluaran untuk mengimpor migas yang jadi, pasti juga akan meningkat pula. Namun hal ini tidak dijelaskan secara transparan oleh pemerintah kepada rakyat.

Akar Permasalahan

Akar permasalahan mengapa tata kelola migas di Indonesia sangat rentan terjadi masalah adalah karena bergantungnya Indonesia dengan harga migas dunia. Migas-migas yang diimpor oleh Indonesia merupakan migas dari hasil ekspor Indonesia ke negara lain. Migas-migas di Indonesia dikelola oleh swasta atau kontraktor karya migas yang kemudian diekspor. Hal ini mengacu pada UU no 22 tahun 2001 tentang migas, yang intinya menggambarkan jika peran swasta lebih dominan dalam mengelola dan mengeksplorasi migas di Indonesia dari hulu hingga hilir. Pemerintah katanya sudah merencanakan untuk merevisi undang-undang ini, namun nyatanya hingga saat ini pemerintah masih belum merevisi UU tersebut yang sudah sangat jelas jika UU tersebut memberikan banyak kerugian kepada negara.

Mengapa sampai saat ini swasta menerima dengan tangan terbuka untuk mengelola migas-migas yang ada di Indonesia? Salah satu alasannya adalah karena adanya  fee ketika kontraktor tersebut mengelola migas dan mengekspornya ke mancanegara. Adanya fee yang bisa diperoleh oleh para kontraktor tersebut menjadikan pihak swasta betah berlama-lama menguasai migas di Indonesia. Hal ini menjadikan permasalahan migas di Indonesia menjadi masalah yang sangat kompleks. Mulai dari masalah substansi fundamental pengaturan sampai pada masalah moral dari pelaku usaha.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa para pelaku usaha ini tidak memikirkan rakyat sama sekali. Maka akan menjadi hal yang wajar jika pemerintah tidak menyadari adanya efek domino dari naiknya harga BBM di negeri ini. Ditengah inflasi pangan yang luar biasa di tambah dengan efek domino yang menanti, hal ini akan semakin menyesakkan bagi masyarakat. Mengingat kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi covid-19.

Benarkah Subsidi BBM Beban Terbesar APBN Negara?

Secara produksi Indonesia mampu memproduksi sekitar 800 ribu barel migas mentah, sedangkan kebutuhan BBM atau migas yang perlukan oleh masyarakat Indonesia per harinya adalah 1,5 juta barel. Dari 800 barel yang ada, yang bisa dikelola pertamina hanya sebesar 54% saja dan selebihnya dikelola oleh swasta. Kemudian kekurangan subsidi yang mencapai 700 ribu barel tadi akhirnya pemerintah memilih membelinya dari perusahaan asing dengan harga internasional yang akan membuat anggaran semakin menjadi berat. Harga minyak internasional tidak hanya dipengaruhi oleh faktor supply and demand, namun juga dipengaruhi oleh transaksi sektor non riil. Dengan dilakukannya forward contract yang suratnya bisa diperdagangkan, sehingga menjadikan harga barang menjadi naik turun secara signifikan.  

Anggaran APBN untuk subsidi BBM adalah Rp. 502 T, sedangkan APBN Indonesia yang disediakan 4x dari subsidi BBM atau sekitar Rp. 2000 T. Sehingga harga BBM perlu untuk dinaikkan karena dikhawatirkan akan semakin banyak anggaran APBN yang harus dikeluarkan untuk subsidi BBM. Bahkan menurut mentri keuangan Sri Mulyani yang mengatakan jika anggaran subsidi bisa membengkak kembali dengan tambahan sebesar Rp. 198 T. Ada hal yang tidak di sadari masyarakat dan kurangnya transparansi pemerintah jika angka Rp. 502 T itu tadi tidak hanya dipergunakan untuk subsidi BBM saja, namun juga ada uang kompensasi di dalamnya.

Subsidi BBM sebenarnya hanya membutuhkan anggaran sekitar Rp. 200 T yang digunakan untuk mengimpor migas jadi dari negara lain, sisanya digunakan untuk uang kompensasi BBM. Uang kompensasi BBM ini didapatkan dari selisih harga jual BBM dalam negeri dan harga jual BBM dalam pasar internasioal. Sehingga jika BBM tidak segera dinaikkan, uang kompensasi BBM ini akan terus naik. Hal ini membuktikan bahwa subsidi BBM tidak membebani APBN seperti yang digaungkan sebelumnya jika subsidi BBM mencapai hampir ¼ dari APBN negara.

Hal ini jelas terlihat bahwa terdapat kesalahan dalam pengelolaan BBM. Pemerintah kehilangan jati dirinya sebagai pelayan atau pengurus masyarakatnya. Dengan dibeberkannya fakta tentang subsidi BBM dan adanya uang kompensasi membuktikan bahwa yang dilakukan pemerintah bukan lagi melayani masyarakat namun yang dilakukan oleh pemerintah adalah jual beli. Pemerintah akan merasa merugi jika BBM milik rakyat yang mereka eksploitasi tidak dijual dengan harga internasional.

Bagaimana Tata Kelola BBM yang Baik?

Jika dilihat lebih jauh, Indonesia adalah negara dengan sumber migas yang melimpah. Namun yang disayangkan selama ini Indonesia hanya mengeksploitasi dan menghasilkan minyak mentah saja. Belum sampai ke tahap minyak jadi yang sudah siap dipakai seperti solar dan pertalite, Indonesia masih berada pada tahap minyak mentah, yang kemudian di ekspor lalu diolah oleh negara lain menjadi minyak jadi, yang kemudian dibeli kembali dengan harga yang lebih mahal.

Sebenarnya jika Indonesia ingin mengembangkan migas secara mandiri, Indonesia sudah mampu. Karena Indonesia memiliki berbagai bahan dasar untuk pembuatan alat-alat untuk mengembangkan migas di Indonesia seperti baja, besi, nikel dan masih banyak lagi. Indonesia pun tidak kekurangan para intelektual yang bisa mengembangkan migas. Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan untuk mengembangkan migas secara mandiri di negeri ini.

Namun, terdapat satu hal yang tidak dimiliki oleh indonesia, diduga kuat hal yang tidak dimiliki Indonesia adalah keinginanatau visi yang kuat untuk mencapai kemandirian dalam pengelolaan migas. Misalnya Indonesia memiliki visi yang kuat untuk memenuhi kebutuhan migas sebesar 1,5 juta barel secara mandiri kemudian dibuat rencana yang jelas untuk menuju kesana. Sosok seperti itulah yang dibutuhkan oleh Indonesia agar Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri dalam mengelola migas.

Solusi Konkrit Masalah Kenaikan BBM dan APBN Negeri

Setelah masalah tentang kenaikan harga BBM diurai, maka dapat kita temui jika permasalahan pokok yang paling inti dalam hal ini adalah tata kelola dari BBM itu sendiri. Dimana pemerintah menyerahkan pengelolaan migas pada mekanisme pasar. Mekanisme pasar inilah yang menjadikan tata kelola BBM dalam negeri menjadi rusak, sehingga menyulitkan rakyat dengan naiknya harga berbagai kebutuhan pokok. Selain itu dengan menyerahkan pengelolaan migas dalam mekanisme pasar, berarti pemerintah membuka peluang lebar-lebar bagi swasta untuk mendominasi pengelolaan migas di Indonesia. Padahal dengan diberikannya peluang yang besar kepada swasta untuk mengelola migas di Indonesia, hal ini akan sangat memungkinkan munculnya mafia migas.  

Dari seluruh permasalahan diatas maka dapat kita simpulkan jika hal ini bisa terjadi lantaran minimnya peran pemerintah dalam mengurusi urusan rakyat. Juga, permasalahan ini tidak lepas dari sistem ekonomi yang digunakan dalam negeri ini, yakni sistem ekonomi kapitalis. Dimana peran negara salam sistem ini sangat minim, negara hanya sebagai fasilitator atau regulator yang hanya bisa memikirkan berapa banyak selisih dari harga jual migas di Indonesia dan berapa fee yang bisa diperoleh, bukan lagi  bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan rakyat, sehingga kebutuhan rakyat bisa dipenuhi dengan mudah dan murah.

Jika permasalahan BBM ini tidak ditarik dan diselesaikan secara sistemik, maka tidak hanya permasalahan tentang BBM ini yang akan terus ada, tetapi juga adanya kerusakan dari sistem perekonomian yang dijalankan saat ini. Sehinga dibutuhkan pengaturan sistem perekonomian yang berasal dari pencipta manusia yang terbukti bisa menyelsaikan seluruh problematika ekonomi secara tuntas, yakni sistem ekonomi islam.   

Dengan demikian sudah seharusnya pemerintah beralih dari sistem ekonomi kapitalis yang saat ini digunakan menjadi sistem ekonomi islam. Dengan sistem ekonomi islam pemerintah berkewajiban untuk mengayomi, mengurusi dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya dengan mudah dan murah. Sehingga pemerintah tidak akan lagi menggunakan asas jual beli dalam memenuhi kebutuhan rakyat, namun akan menggunakan asas kepengurusan atau pengayoman. Dengan diterapkanya sistem ekonomi islam rakyat tidak akan sengsara dan menderita lagi karena sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi terbaik yang berasal dari pencipta manusia itu sendiri, yang paling tahu baik dan buruk untuk makhluk ciptaannya. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version