View Full Version
Selasa, 08 Aug 2023

Liberalisasi Suburkan Kaum Pelangi

   

                                                                  Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
 

Pergaulan bebas menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan muda-mudi hari ini. Anak-anak usia sekolah tak sedikit yang sudah akrab dengan minuman beralkohol, hubungan seksual, dan aktivitas hedonis lainnya. Mirisnya lagi, di antara jenis kemaksiatan yang ada, hubungan seks sesama jenis menjadi salah satu yang menjadi tren. Sungguh sangat memprihatinkan. Tak heran jika, perilaku seks menyimpang tersebut memunculkan berbagai kerusakan, di antaranya merajalelanya penyakit HIV/AIDS.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tangerang, tercatat hingga per tanggal 28 November 2022, total ada sebanyak 522 kasus HIV dan AIDS. Dari data tersebut, dr. Sumihar Simaloho, Kepala Bidang Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) pada Dinkes Kabupaten Tangerang mengatakan rinciannya adalah HIV sebanyak 372 kasus dan AIDS sebanyak 150 kasus. (Tangerangnews.com/01-12-2022)

Sementara itu, di Tangerang Selatan, sebagaimana dilansir oleh Tangerangnews.com (31-07-2023), sebanyak 144 kasus HIV dan 33 kasus AIDS terjadi dalam periode sejak Januari hingga Juni 2023 berdasarkan catatan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Kepala Dinas kesehatan Kota Tangsel Allin Hendalin Mahdiar mengatakan, ratusan kasus HIV/AIDS tersebut paling banyak antara usia produktif mulai usia 25 hingga 49 tahun. Dan mirisny lagi, penyumbang terbesar HIV/AIDS ini adalah hubungan seks menyimpang sesama jenis (gay).

Sungguh negeri ini darurat penyimpangan seksual. Tentu saja kita tak bisa menganggapnya remeh, karena kita merupakan bagian dari anggota masyarakat terlebih lagi berstatus sebagai seorang muslim yang notabenenya telah dibebankan kewajiban untuk beramar makruf nahi mungkar atas setiap kemaksiatan yang terjadi. Lantas, seperti apa Islam memandang perilaku kaum pelangi? Bagaimana cara kita menuntaskan hal tersebut?

Kaum Pelangi Layakkah Dimaklumi?

Dalam sistem kehidupan liberal hari ini, perilaku seks menyimpang kian berani. Bahkan di bawah bendera hak asasi manusia mereka berlindung agar diakui. Benarkah mereka pantas mendapat pengakuan dan pemakluman?

Tak dimungkiri bahwa sebagian orang masih menganggap mereka layaknya manusia normal biasanya, perilaku mereka dianggap bukan sebuah penyimpangan melainkan fitrah yang harus dihargai. Bahkan tak sedikit orang yang menentang perilaku mereka, lantas dianggap intoleran bahkan radikal. Sesungguhnya ini perlu diluruskan dan dihukumi berdasarkan hukum yang baku, bukan berdasarkan akal manusia yang lemah dan terbatas.

Sebagai muslim, tentu kita telah memahami bahwa sumber aturan bagi manusia adalah Al-Qur'an dan hadis. Dari keduanya lah kita menghukumi segala sesuatu, termasuk dalam menghukumi perilaku LGBT. Perilaku LGBT pernah dilalukan oleh kaum Sodom pada zaman Nabi Luth a.s, kemudian Allah menurunkan hujan batu sebagai azab atas mereka. Al-Qur'an telah mengabadikanya dalam firman-Nya surah Al-A'raf ayat 80:

Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?” 

Bahkan perilaku homoseksual disebut sebagai perbuatan yang melampaui batas, Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas[Al-A’raaf: 81].

Maka, Islam sangat tegas dalam menghukumi perilaku seks menyimpang tersebut karena dalil keramannya sudah terang benderang. Islam akan menindak tegas pelakunya dengan hukuman mati sebagaimana syariat telah mengajarkannya. “ Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya” [HR Tirmidzi]

Demikianlah Islam, tidak memaklumi perbuatan kaum pelangi di bawah dalih hak asasi. Karena dalam Islam, amat jelas antara yang hak dengan yang batil. Keduanya tak bisa dicampurbaurkan. Maka, dalam regulasi sistem pemerintahan Islam, pelaku LGBT tidak akan dibiarkan eksis dan mengampanyekan idenya terebut kepada yang lain, sebab Islam akan langsung menindak tegas pelakunya dengan hukuman mati.

Adapun sanksi dalam Islam akan berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) bagi pelakunya, serta pemberi efek jera bagi masyarakat umum (jawazir). Di sisi lain, negara yang menegakkan syariat Islam akan menerapkan langkah preventif dalam mencegah lahirnya kaum pelangi, di antaranya mewujudkan sistem pendidikan Islam berbasis pengajaran akidah Islam. Karena akidah akan menjadi fondasi bagi setiap muslim dalam melakukan  perbuatan. Ia akan menakar setiap perbuatannya berdasarkan rida dan murkanya Allah.

Selain itu, Islam akan menciptakan tata pergaulan masyarakat yang sesuai syariat, yakni tidak adanya campur baru antara laki-laki dan perempuan kecuali dalam kepentingan syar'i. Islam juga mewajibkan laki-laki dan perempuan  untuk menutup auratnya sesuai batasan yang telah ditetapkan syariat. Untuk laki-laki, batas auratnya adalah antara pusar hingga lututnya. Sementara perempuan, auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Islam juga mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangannya dari sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat. Dan semua pelaksanaan itu akan dikawal oleh negara.

Sungguh dengan demikianlah akan tegak kehidupan yang lurus dan beradab, sesuai dengan fitrah manusia. Bukan hidup yang serampangan sesuai petunjuk hawa nafsu belaka.

Sangat jauh berbeda dengan kehidupan hari ini yang kental dengan nuansa liberalisme, jauh dari tuntunan agama. Akibatnya banyak orang yang bertindak semaunya. Negara pun tak bisa berbuat apa-apa karena memang sekularisme yang diadopsi negara meniscayakan lahirnya kebebasan di segala bidang, termasuk bebas berpendapat dan berperilaku. Wallahu'alam bis shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version