View Full Version
Sabtu, 23 Sep 2023

Adakah MPR/DPR dalam Islam?

 

Oleh : Desti Ritdamaya

 

MPR, walaupun tak diuraikan kepanjangannya, kata ini lazim diketahui maknanya. Yaitu lembaga pelaksana kedaulatan rakyat yang anggotanya para wakil rakyat (DPR dan DPD). Masa jabatannya lima tahun. DPR dipilih dari anggota partai politik, sedangkan DPD dipilih dari individu secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu.

Keberadaan MPR/DPR dianggap cerminan demokrasi. Sebagai lembaga tertinggi, anggota MPR/DPR tak hanya privilege dalam wewenang tapi juga gaji. Wewenang MPR/DPR meliputi fungsi legislasi, pengawasan, perwakilan aspirasi rakyat dan anggaran. Fungsi legislasi, MPR/DPR merancang dan menetapkan Undang-Undang (UU) yang diberlakukan pada rakyat. Fungsi pengawasan, MPR/DPR mengawasi pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah. Fungsi perwakilan, MPR/DPR sebagai perantara rakyat dan pemerintah, yang menyerap dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Dan fungsi anggaran, MPR/DPR mempertimbangkan dan menyetujui APBN atau keuangan negara lainnya.

Wewenang di atas dianggap sebagai amanah rakyat. Karena founding fathers bersepakat mengadopsi sistem negara republik dan demokrasi. Slogannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Telaah secara mendalam, sistem kenegaraan seperti ini berasas pada sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sejarah mencatat asas sekulerisme ini lahir dari rahim peradaban Barat.

 

Sekulerisme : Kedaulatan dan Kekuasaan pada Rakyat

Muslim perlu menelaah akar sejarah sekulerisme tersebut sebagai batu pijakan menyikapinya.  Relasi mutualisme agama (Kristen) dan kekaisaran di Barat selama abad pertengahan melahirkan otoritarianisme, degradasi intelektual, inkuisisi massal dalam kehidupan. UU yang berlaku dalam kekuasaan saat itu berasal dari para gerejawan dengan doktrin kitab suci. Pusat kekuasaan (gereja dan kaisar) ber ’suka ria’ dengan keuntungan materi dan jabatan, sebaliknya rakyat terkukung penderitaan dan kegelapan.  

Para intelektual dan filsuf tak berdiam diri. Mereka melawan dan memprotes keras. Dukungan rakyat meluas, karena hakikatnya mereka ingin melepaskan diri dari dominasi gereja dan kekaisaran. Akhirnya jalan tengah pun diambil yaitu sekulerisme. Agama dicukupkan hanya mengatur aspek ibadah ritual individu, tak dilegalkan dalam kehidupan publik.

Trauma peradaban Barat pada agama berdampak luas dan panjang hingga detik ini. Karena penjajahan Barat menancapkan dan meninggalkan jejak sekulerisme di berbagai wilayah dunia termasuk negeri-negeri Islam. Sekulerisme mengharuskan kedaulatan dan kekuasaan inheren dalam tubuh rakyat. UU dan kebijakan negara harus nihil agama. Jelas sekulerisme bertentangan dengan aqidah Islam, yang mengharuskan muslim mengimani Allah sebagai pengatur terbaik  kehidupan dengan syariah Islam.

 

Pandangan Islam pada Wewenang MPR/DPR

Atas telaah akar sekulerisme, muslim perlu mengetahui pandangan Islam terkait wewenang MPR/DPR. Karena setiap muslim akan kembali pada Allah SWT disertai pertanggungjawaban amal perbuatannya. Terkait fungsi legislasi, Allah SWT berfirman :

اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS. Al-An'am ayat 57).

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim (QS. Al Maidah ayat 45).

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

Artinya : Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al Maidah ayat 50).

Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُو رَدٌّ

Artinya : Barangsiapa mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini, maka hal itu tertolak (HR. Bukhari Muslim).

 

Cukup kalam Allah dan Rasulullah yang mulia di atas menjadi dalil bagi muslim menolak UU selain dari syariat Islam. Karena keimanan yang lurus akan menolak UU yang melanggar hukum syara’. Keimanan akan mendorong muslim terikat dan tunduk patuh pada hukum syara’. Jelaslah keberadaan wakil rayat yang melegislasi UU dengan akalnya yang terbatas adalah kebatilan dan menyelisihi syari’at Islam. Tak layak manusia lemah dan terbatas mencabut dan membuang syari’at Islam.

Terkait fungsi pengawasan, perlu diperhatikan dulu apakah UU atau kebijakan pemerintah berasas sekulerisme atau tidak. Jika wakil rakyat mengawasi penerapan UU dan kebijakan pemerintah yang berasas sekulerisme, maka fungsi pengawasan ini tak ada dalam Islam. Karena dari asasnya saja sudah batil. Tidak ada pengawasan untuk sesuatu yang batil. Tapi jika mengawasi penerapan UU dan kebijakan pemerintah bersumber dari syariat Islam, maka menjadi kewajiban wakil rakyat. Bahkan mengkritik (muhasabah) penguasa yang menyimpang dan menyelisihi hukum syara’ merupakan bagian syari’at Islam yang agung. Karena hal tersebut tanda sayang dan kepedulian sesama muslim. Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya : Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman (HR. Muslim).

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Artinya : Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Daud).

Terkait fungsi perwakilan, Islam memperbolehkannya. Karena beberapa shahabat (mewakili kaum muslim) sering dimintai pendapatnya oleh Rasulullah SAW ketika menjadi kepala negara Madinah. Seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Salman al farisi, Hudzaifah dan sebagainya. Bahkan acapkali Rasulullah SAW bermusyawarah (syura) bersama shahabat. Aktifitas ini pun sepeninggal Rasulullah SAW dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin.

Hukum syara’ sudah mengatur secara detail terkait fungsi perwakilan ini. Jika perwakilan dalam aspirasi terkait kewajiban penguasa dalam memenuhi kebutuhan dan pelayanan rakyat, maka wakil rakyat harus menunaikannya. Jika perwakilan terkait syura (musyawarah) untuk urusan keumatan dan kenegaraan (selain hukum syara’ dan kompetensi tertentu), maka wakil rakyat harus menunaikannya. Hukum syara’ tidak boleh dimusyawarahkan karena hak prerogatif Allah. Kompetensi tertentu tidak boleh dimusyawarahkan karena harus diserahkan pada ahlinya.  Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Artinya : Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).

Terkait fungsi anggaran, tak ada kewenangan ini pada wakil rakyat dalam pandangan Islam. Karena pengaturan APBN dan keuangan negara harus sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Kepala negara (khalifah) dalam Islam memiliki hak tabanni (adopsi) untuk menyusun APBN sesuai hukum syara’. Tanpa harus mendapat persetujuan dari wakil rakyat. 

Jadi wakil rakyat dalam Islam hanya memiliki wewenang dalam fungsi pengawasan (muhasabah) dan perwakilan (syura’). Tak ada wewenang dalam fungsi legislasi dan anggaran. Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version