Oleh: Alga Biru
Peristiwa demi Peristiwa
Tepat setahun lalu, 7 Oktober 2023, pecahnya perang di Gaza antara Hamas dan militer Israel secara bertubi-tubi menewaskan banyak rakyat sipil terutama kaum wanita dan anak-anak. Dunia mengutuk dan semua mata tertuju pada gejolak perang yang seolah mereda sesaat dan memanas lagi kemudian. Setidaknya 8.306 jiwa gugur di medan peperangan dan 7000 orang Palestina diantaranya ditangkap lalu dipenjara oleh otoritas Israel. Palestina menyimpan bara, duka dan kesakitan yang tak kering dimakan waktu.
Pertolongan dari sisi kemanusian terus mengalir dalam bentuk donasi oleh gerakan masyarakat maupun lembaga kenegaraan. Kampanye dan opini terus bergulir di sosial media melalui perang simbol, pewartaan langsung (live) dan perang tagar. Aksi boikot produk Israel maupun yang berafiliasi terus menggeliat dari para aktivis yang diikuti langkah pengikutnya.
Gerakan boikot global, termasuk Indonesia dengan penduduk 275 juta jiwa berperan untuk tidak lagi mengkonsumsi sejumlah produk yang terafiliasi. Daftar produk ini pun sudah dikeluarkan oleh lembaga seperti BDS Movement dan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) menyebutkan 10 merek yang diboikot meliputi Starbucks, Danone, Nestle, Zara, Kraft Heinz, Unilever, Coca Cola Group, McDonalds, Mondelez, Burger King, dan Kurma Israel. Unilever yang terdampak boikot lantas mengalami terjun bebas penjualan sebanyak 15 persen pada kuartal keempat tahun 2023. Starbucks Indonesia berusaha melakukan rebranding dan menyebut dirinya tidak berafiliasi dengan konflik di Timur Tengah.
Akhir Kisah
Hadiah terbesar untukku yang musuh penjajah bisa berikan kepadaku adalah dengan membunuhku dan aku menjumpai Allah sebagai syahid lewat tangan mereka. Hari ini usiaku sudah 59 tahun.
Aku terus terang lebih senang jika aku gugur oleh M16 atau roket daripada aku mati karena covid, karena stroke atau kecelakaan atau kematian biasa layaknya manusia lainnya.
Sebentar lagi usiaku mencapai 60 dan lebih sedikit. Dan itu berarti sudah janji yang benar (kematian) yaitu mati secara biasa (dengan usia ini). Maka aku lebih memilih untuk mati terbunuh sebagai syahid.
Untaian kalimat tersebut adalah saduran dari rekaman pidato Yahya Sinwar yang kembali viral di sosial media setelah pengumuman syahidnya Abu Ibrahim tersebut yang disambut duka kaum muslimin. Ia meninggal dunia seraya duduk memberi perlawanan terakhirnya dengan gagah dan tak takut sedikit pun. Syahidnya Abu Ibrahim dalam pertempuran sengit di Rafah Gaza semakin membuka mata dunia bahwa peperangan jauh dari kata akhir.
Kisah dan pemberitaan tentang Palestina tidak boleh lengah dan termatikan oleh sejumlah distraksi. Palestina belum merdeka seutuhnya, tetapi Palestina juga tidak berhenti mencetak generasi militan yang tangguh. Mereka yang dibesarkan oleh perang dan air mata, tidak menangisi masalah sepele sebagimana rengekan anak-anak di belahan dunia lain. Harga perjuangan mereka sepadan dengan apa yang lahir kemudian, yakni hidup mulia atau mati syahid.
Biro Pusat Statistik Palestina mengungkapkan seperlima rakyat Palestina berisikan kaum muda atau sekitar 22% total populasi di tahun 2023. Berdasarkan usia, dilaporkan bahwa usia 18 hingga 29 tahun mencapai total 1,19 juta jiwa. Usia produktif dari para pemuda Palestina ini dimanfaatkan betul untuk belajar, bersekolah, menimba ilmu agama dan mencetak generasi.
Keterpisahan jarak, bahasa dan negara bukanlah alasan kita melupakan Palestina dan penderitaannya. Jalur politik dan perlawanan fisik (jihad) adalah satu-satunya cara membebaskan Palestina yang dirampok wilayah dan kehormatannya. Kerusakan yang terjadi berupa deraan fisik yang nyata oleh negara caplokan Israel yang didukung oleh sekutunya. Cara penjajah memelihara polemik ialah dengan menciptakan negara Israel di kota suci, maka menjelmalah ia seumpama borok dan biang keladi dan terus mempertahankannya.
Negeri penjajah harus ditampilkan sebagaimana wajah penjajah. Jangan sampai kisahya berbalik lantaran opini tandingan atau perguliran waktu. Satu-satunya cara bagi kita merawat perlawanan ialah dengan pemikiran perlawanan itu sendiri. Jangan lupakan cita-cita Al Aqsa yang masih terbelenggu. Kini ia masih dikunjungi sebagai bagian dari wisata religi oleh sebagian kalangan yang diberikan kemampuan dan mendapatkan visa. Jangan sampai ia hanya sebagai cerita-cerita masa lalu dan terbelokkan dari pembebasan yang sebenarnya. Jangan kandas memboikot produk-produk pro Israel saat memasuki masa tenang lantas kabar Palestina tidak lagi terdengar.
Kisahkan tentang para syuhada yang telah wafat dalam keteguhan imannya. “Hidup mulia atau mati syahid” bukanlah template penghias curriculum vitae lembar perjodohan para aktivis dakwah. Bahkan boleh jadi mereka merasakan usangnya kalimat tersebut dan menggantinya dengan cita-cita lain yang terdengar lebih relevan. Kalimat itu bukanlah templete, melainkan mental. Ia boleh saja tidak disebutkan tetapi ia pastilah derajat tertinggi sang hamba Allah di muka bumi. Kebebasan Palestina bukanlah romansa, tetapi nadi yang hidup dan jantung dunia islam tempat kemenangan kelak akan terbit. Maka sampaikanlah! Wallahu’alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google