BANDUNG (voa-islam.com) - Direktur The Community Islamic of Ideological (CIIA) Harits Abu Ulya memberikan catatan terkait Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru terpilih yaitu Boy Rafli.
Menurut Harits, jejak atau latar belakang Boy Rafli yang pernah di Densus 88 menjadikan jabatan di BNPT itu linear, artinya masih relevan karena punya basis pemahaman didunia kontra terorisme.
"Pak Boy semoga bisa membuat BNPT lebih transparasi dan akuntabel terkait anggaran. Dengan demikian publik bisa lebih percaya atas kinerja BNPT yang berbiaya dari uang rakyat atau negara. Dan jika di lingkungan BNPT ada 'rayap-rayap' anggaran tentu dengan transparasi dan akuntanbel bisa di amputasi," katanya dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi Voa Islam, Sabtu (02/05).
Boy yang jejaknya banyak di bidang kehumasan, lanjut Harits, membuat publik berharap ini menjadi modal besar untuk membangun komunikasi publik yang nir polemik. Mengingat selama ini, menurutnya, pejabat BNPT sebelumnya kerap kali menyampaikan statement di hadapan publik yang memicu perdebatan bahkan mengundang kritik keras dari berbagai pihak.
"Dinamika terorisme dari tahun ke tahun mengalami pasang surut dari aspek aksi. Namun demikian secara objektif sebenarnya terpetakan apa yang menjadi sumber atau sebab utama, variabel-variabel penyokongnya, fenomena aksidental yang menjadi stimulan dari sebuah aksi teror. Maka dari aspek ini BNPT dihadapkan kepada prioritas pencegahan," ujarnya.
"Langkah soft approach perlu menjadi prioritas. Meski harus melakukan hard approach dengan law enforcement maka perlu kontrol ketat agar aparat dilapangan tidak over eksesif. Kasus ekstra judicial killing dalam kontra terorisme sudah lebih dari 150 orang terduga teroris," tambahnya.
Catatan pentingnya lagi kata Harits adalah "kekerasan", baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak pada proses penindakan itu akan menjadi pemantik kekerasan berikutnya secara timbal balik. Menurutnya lagi cukup menjadi bahan kajian, 10 tahun terakhir aksi teror targetnya adalah pihak aparat kepolisian.
"Alasan selama ini, karena polisi menggagalkan tujuan kelompok teroris, atau karena Polisi di anggap thogut, tapi mengabaikan faktor ideologi 'dendam' karena faktor kekerasan-kekerasan yang berkelindan dalam proyek kontra terorisme," ungkapnya.
"Semoga BNPT bisa lebih baik, dalam arti aparatnya profesional, proporsional, bisa dipertanggungjawabkan semua tindakannya secara hukum, tidak mengabaikan norma-norma agama, HAM, transparasi dan akuntabel," tuturnya. [syahid/voa-islam.com]