BANDUNG (voa-islam.com) - Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya membantah argumen Pengamat Intelejen yang juga mantan politisi PDIP dan Hanura Susaningtyas Nefo Kertopati bahwa Bahasa Arab merupakan salah satu ciri teroris dan menyebut banyak sekolah-sekolah di Indonesia berkiblat pada Taliban.
"Paham Taliban juga tidak, atau baru paham dari narasi media-media kontra Taliban tapi sudah membuat oversimplikasi bahwa Taliban adalah ancaman bagi generasi Indonesia," katanya dalam rilis tertulisnya yang dikirim ke redaksi Voa-Islam pada Rabu (08/09).
"Dan hipotesa prematur tersebut dipakai sebagai tolak ukur untuk menilai sekolah dan tempat pendidikan apakah mereka berkiblat kepada Taliban atau tidak," lanjutnya.
Menurut Harits yang juga dikenal sebagai pengamat terorisme, hipotesa Susaningtyas tersebut adalah hipotesa 'otak atik gatuk.'
"Dulu jauh sebelum muncul isu Taliban juga terjadi penilaian atau kecurigaan yang sama terhadap beberapa lembaga pendidikan dan pondok pesantren. Hanya karena tidak upacara bendara, atau tidak menemukan foto presiden, atau tidak hapal nama parpol maka dicurigai berkiblat kepada kelompok teroris," ujarnya
"Ini nalar konyol terlaku menyederhanakan masalah, untung tidak mengukur dengan apakah anak didik atau santri hapal nama-nama anggota DPR pusat sampai DPR-D atau nama-nama menteri yang biasa bongkar pasang tiap tahun di negeri ini, sangat menggelikan," tuturnya.
Harits menilai bahwa saat ini masyarakat Indonesia terutama kaum milenial makin terdidik dan nalarnya kritis, tidak semudah itu menelan logika-logika konyol dalam isu keamanan.
Kalau mau survei hari ini, lanjut pria yang akrab dipanggil HAU ini, rakyat lebih kawatir dan takut periuk mereka terguling tidak bisa makan daripada kawatir dan takut dengan isu Taliban.
"Rakyat butuh keluar dari krisis ekonomi bukan keluar dari ancaman Taliban atau teroris musiman. Karena ancaman Taliban iti sebatas cerita, ancaman asumtif yang sengaja di amplifikasi dengan beragam motif kepentingan dibaliknya. Taliban sibuk di negaranya, Taliban sibuk bangun negaranya dan itu pekerjaan maha berat. Dan Taliban tidak sibuk mikir bagaimana kirim teror ke Indonesia" ungkapnya.
Makin berlebihan kata Haris, jika ada pihak-pihak tertentu yang mambangun narasi bahwa Taliban merupaka ancaman terhadap keamanan Indonesia, maka makin tampak phobia Islamnya, makin tampak tendensi dan subyektifitasnya dan terbaca motif dibalik kesibukan meng-aransemen isu Taliban.
"Dan makin ngawur membangun propagandanya, bisa-bisa para intelektual yang ngajak berpikir waras dan proporsional akan dituduh bagian dari jaringan Taliban," jelasnya.
"Kita rakyat Indonesia butuh aman untuk membangun kemakmuran dan keadilan tapi juga butuh menjadi rakyat yg nalarnya waras," tutupnya. [syahid/voa-islam.com]