View Full Version
Senin, 13 Apr 2015

Ke-Putih-an Perempuan: Kolonial Nostalgia Bangsa

Membaca buku Aquarini Priyatna Prabasmoro yang salah satu bahasannya berjudul Putih, Feminitas dan Seksualitas Perempuan dalam Iklan Kita, membuat saya terinspirasi untuk menulis tentang hal ini. Sebetulnya ide ini sudah mengendap lama dalam benak, hanya dibutuhkan sedikit pemicu untuk mengeluarkannya menjadi sebuah peluru. Karena bagaimanapun, selalu saja menarik membicarakan tentang perempuan meskipun oleh perempuan sendiri.

            Membicarakan perempuan tidak melulu harus melalui pendekatan seorang feminis. Meskipun di beberapa poin saya sangat mengagumi tulisan Aquarini yang dengan jelas dan tegas menyatakan dirinya seorang feminis, saya pun dengan jelas dan tegas menyatakan diri saya sebagai bukan seorang feminis. Tapi pada saat yang bersamaan, saya tak hendak pula mengidentifikasi diri sebagai pendukung maskulinitas atau yang biasa disebut dengan sinis oleh kaum feminis sebagai budaya patriarki. Karena sesungguhnya kedua istilah ini ada untuk saling dibenturkan satu sama lain.

            Pendekatan saya adalah pendekatan seorang perempuan dari sebuah sudut pandang yang tidak merasa perlu berbenturan dan ‘mencurigai’ laki-laki, tapi lebih kepada sebuah kecurigaan atas motivasi apa di balik benak laki-laki dan perempuan ketika mereka berpikir dan bersikap. Kecurigaan atas sebuah pandangan atau isme tertentu di balik sikap baik laki-laki dan perempuan yang begitu mengagungkan ke-putih-an sebagai standard kecantikan.

            Kecurigaan ini menjadi sebuah keprihatinan manakala keponakan perempuan saya yang saat itu masih duduk di bangku TK, melumuri tubuhnya dengan sabun mandi dan tidak sungguh-sungguh berniat membasuhnya dengan air hingga bersih. Usut punya usut ternyata ia ingin punya kulit putih seperti yang sering diiklankan dalam sabun mandi di TV. Cantik menurut pandangannya yang masih kanak-kanak itu adalah sosok berkulit putih yang selalu ada cairan-cairan tertentu dilumurkan di tubuhnya. Ia masih belum bisa membedakan antara sabun mandi dengan lotion pemutih kulit yang memang mendominasi produk kecantikan.

            Logika kanak-kanak ini ternyata diadopsi oleh sebagian besar manusia yang mengaku dirinya dewasa. Berapa banyak korban berjatuhan karena produk pemutih ini ternyata tidak cocok dipakai di kulit terutama wajah perempuan. Indonesia menjadi pasar konsumen yang menggiurkan karena memang dengan iklim tropisnya, mayoritas kulit perempuan bukan putih tapi cenderung sawo matang. Dengan gencarnya tayangan iklan yang mendewakan kulit putih, menjadikan perempuan-perempuan Indonesia tidak lagi rasional dalam memilih dan memilah produk.

            Ketika satu kali saya main ke rumah salah seorang teman dan menemui produk pemutih di deretan kosmetiknya, dengan bercanda saya tanyakan ‘habis berapa botol untuk menjadikan kulitmu benar-benar putih seperti di iklan?’ Dia pun hanya nyengir saja karena kami berdua tahu ia dikaruniai kulit sawo matang yang cenderung gelap. Iklan ditayangkan memang sengaja untuk memancing nafsu konsumerisme manusia meski seringkali harus dengan menafikkan rasionalitas yang ada. Mengutip Aquarini, bahwa iklan dipasang untuk memberikan sebuah opini bahwa kulit yang gelap menjerumuskan perempuan ke dalam kategori yang tidak diinginkan. Sehingga bagaimanapun caranya, para perempuan akan berlomba membeli produk pemutih tersebut agar hadir menjadi sosok yang diinginkan oleh lawan jenis.

            Di saat perempuan goyah dengan identitas jati dirinya sebagai perempuan Indonesia yang berkulit tidak putih, laki-laki hadir memperburuk kondisi ini. Ia memperkukuh anggapan bahwa perempuan cantik adalah perempuan dengan kulit putih. Hal ini terbuktikan dengan banyaknya ‘sharing’ kepada saya bahwa ‘the most wanted women’ adalah mereka yang berkulit putih. Dan beberapa lingkaran pertemanan saya juga menunjukkan gejala tersebut dengan menyebutkan salah satu syarat perempuan yang diinginkan laki-laki adalah yang berkulit putih.

            Merujuk kepada like dan dislike ini, tidak bisa tidak saya harus menengok kepada sejarah bangsa. Pengalaman dijajah oleh bangsa berkulit putih ternyata membekaskan trauma tertentu dalam benak masyarakat kita. Hal ini sempat dibidik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bagian pertama trilogy Pulau Buru yang berjudul Bumi Manusia. Disana diceritakan tokoh Minke yang sangat mengagumi kecantikan dan pesona Ratu Belanda saat itu (saya lupa namanya) yang kemudian terlampiaskan ketika ia bertemu dengan Anneliese, anak Nyai Ontosoroh yang jelas-jelas berdarah blasteran Jawa-Belanda.

          Obsesi terhadap putih ini ternyata tidak hanya sekedar obsesi terhadap kecantikan, namun ada yang lebih mendasar daripada itu. Di bawah alam sadar kita, sesungguhnya yang terjadi adalah mental sebagai bangsa terjajah masih membekas dalam diri kita, baik laki-laki maupun perempuan yang silau terhadap ke-putih-an ini. Bell Hooks yang dikutip oleh Aquarini mengatakannya sebagai obsesi terhadap putih dapat dikategorikan sebagai suatu colonial nostalgia bahkan mungkin colonial trauma.

              Mental bangsa terjajah ini berlanjut ketika imperialisme menemukan wajah baru dan menyusup di sela-sela sendi budaya. Ia hadir tidak lagi dengan mengokang senjata dan berdiri di luar rumah, namun dengan sopan penjajahan ini menyelinap di tengah-tengah keluarga ketika kita sedang bercengkerama dan tertawa bersama. Media massa adalah corong efektif untuk membangkitkan nostalgia masa lalu ketika sang terjajah begitu pasrah dijajah oleh penjajah. Pada titik ini, bukan hanya perempuan sebagai korban dan dikorbankan (sebagaimana kata Dian Sastro yang pernah dimuat Kompas) namun laki-laki yang notabene dianggap sebagai penindas perempuan, juga mengalami diri menjadi korban meski tidak harus dikorbankan.

            Perempuan sebagai korban dan dikorbankan telah jelas maknanya ketika ia sebagai subjek sekaligus objek yang dikenai tindakan dalam imperialisme budaya. Ia adalah pelaku yang ditampilkan dalam iklan pemutih, dan ia pula yang disasar sebagai calon konsumen yang terkenai mitos tentang putih. Laki-laki hadir sebagai pelengkap penderita yang teropini bahwa standard cantik adalah perempuan putih sebagai nostalgia masa lalu bahwa perempuan putih itu pula yang pernah menjajah dirinya sebagai sejarah bangsa. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: kikiandtea


latestnews

View Full Version