View Full Version
Senin, 15 Feb 2016

Jangan Salah Pilih Jodoh, Chemistry Itu Penting Setelah Agamanya

Oleh: Irfan Noviandana

Dalam memilih jodoh, seringkali di kalangan ikhwan dan akhwat memberi syarat yang baik agamanya, sholeh, apalagi kalau hafidz Quran plus hafalan kitab-kitab hadits juga oke. Rasanya bila ini semua terpenuhi, jaminan kebahagiaan pun membayang.

Sebetulnya, syarat ini sama sekali tidak salah. Sudah seharusnya agama yang baik itu adalah syarat utama dalam menentukan pasangan atau memilih jodoh. Tapi kadang ada yang terlalu yakin tanpa mengenal pribadi si calon, tanpa melihat sosoknya dan tahu kesehariannya, ia merasa agama yang baik adalah jaminan rumah tangganya akan bahagia. Karena keyakinan akan hal tersebut, tanpa nadhar (melihat si calon secara langsung) ia pun langsung menerima, khitbah bahkan pasrah karena yakin bakal bahagia. Padahal zaman sahabat juga gak gitu - gitu amat, oleh karena itu disyariatkan nadhar.

Chemistry atau kecocokan dalam hal selain agama, itu boleh dan sah-sah saja. Ada satu kisah shahabiyah yang menggugat cerai suaminya karena merasa tidak sanggup mencintainya. Tidak ada chemistry dalam rumah tangganya. Padahal sahabat itu tidak diragukan kesalehannya. Kurang saleh bagaimana, dia adalah Tsabit bin Qais sahabat yang termasuk dijamin masuk surga. Ilmu agamanya juga tidak diragukan. Beliau adalah juru bicara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

...Chemistry atau kecocokan dalam hal selain agama, itu boleh dan sah-sah saja. Ada satu kisah shahabiyah yang menggugat cerai suaminya karena merasa tidak sanggup mencintainya...

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Jamilah, saudari Abdullah bin Ubay bin Salul, yaitu istri Tsabit bin Qais bin Syammas pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, seraya berkata kepadanya: “Tsabit bin Qais (suamiku), aku tidak mencela prilaku atau agamanya, namun aku tidak sanggup hidup bersamanya. Bukan karena aku tidak suka kepadanya, namun aku sangat tidak suka berbuat durhaka di dalam Islam ini.” Nabi bersabda, “Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya?” (Kebun itu dahulu adalah maharnya). Jamilah menjawab: “Ya.”, lalu Nabi bersabda: “Terimalah (wahai Tsabit) kebun itu dan talaklah (ceraikanlah) istrimu talak satu.” (HR. Bukhari)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menerima permintaan shahabiyah tersebut dan menyuruh mengembalikan maharnya sebagai syarat khuluw atau cerai.

Ternyata menentukan pasangan yang harus ada chemistry itu penting, dan itu tergantung selera masing - masing. Ada yang mematok syarat selain agamanya baik adalah yang penting komunikasi nyambung. Ada juga yang penting pintar karena ada meme yang populer "seorang anak lebih membutuhkan ibu yang pintar daripada ibu yang cantik.” Kemudian ada ikhwan lainnya lebih memilih "yang penting cantik soal pinter saya yang take over".

Soal chemistry ini pasti relatif, beda-beda kebutuhan setiap individu, kalau saya yang penting wangi, karena hidung saya sensitif dan tak suka bau selain yang wangi.

Soal chemistry ini juga diperkuat dengan kisah shahabiyah yang menolak tiga lamaran sahabat terbaik yaitu ‘Umar bin Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Zubair bin Awwam, mereka ditolak seorang shahabiyah karena tidak ada chemistry. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version