View Full Version
Jum'at, 09 Dec 2016

Mualaf Emma Taylor: Merasa Nyaman di Masjid, Batas antara Perempuan dan Laki-laki Jelas

Bismillah. Namaku Emma Taylor. Aku lahir dan besar di lingkungan keluarga Katolik. Meskipun begitu, aku suka sekali berpesta selepas pulang sekolah. Gaya hidup bebas dan ganti-ganti pasangan menjadi agamaku saat itu. Selain itu, aku juga sangat suka membeli baju-baju seksi dan pergi untuk pacaran.

Itu semua berlangsung beberapa tahun hingga satu saat aku merasa patah hati setelah putus dengan pacarku. Di saat patah hati itulah, salah satu teman Muslim mengundangku makan malam di tempatnya tinggal. Namanya Susan. Saat aku masih berada di rumahnya, ia minta izin untuk berdoa yang kemudian aku ketahui namanya salat.

Itulah pertama kalinya aku melihat seorang muslim beribadah. Susan terlihat begitu damai dengan kehidupannya. Sungguh berbeda denganku. Itulah pertama kalinya juga, aku bertanya pada Susan tentang agamanya tersebut.

Susan tidak menganggap remeh pertanyaanku. Ia bahkan merekomendasikan sejumlah website untuk kubuka dan kupelajari sendiri tentang Islam. Susan juga mengajakku untuk ke masjid, tempat semua orang saling menghormati satu sama lain.

...Di masjid, duduk bersama dengan perempuan muslimah lainnya membuatku merasakan sesuatu yang beda. Ada rasa lega karena merasa diterima. Selama satu jam di sana, aku merasa seluruh masalahku telah hilang...

Beberapa hari kemudian, aku pun pergi ke masjid bersamanya. Sebelum ke masjid, Susan memberitahu bagaimana pakaian yang harus kukenakan di sana. Ia juga meminjamiku kain kerudung. Itulah hari saat hidupku mengalami perubahan drastis.

Di masjid, duduk bersama dengan perempuan muslimah lainnya membuatku merasakan sesuatu yang beda. Ada rasa lega karena merasa diterima. Selama satu jam di sana, aku merasa seluruh masalahku telah hilang. Aku suka berada di masjid, tempat dimana batas laki-laki dan perempuan terpisah dengan jelas. Aku merasa dihormati dan dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Untuk pertama kalinya dalam hidud, aku merasakan gelombang spiritual menyapaku.

Dengan bantun teman, aku pun masuk Islam. Ini adalah langkah radikal yang pernah kuambil. Banyak teman lama mengiraku gila. Di titik inilah aku tahu bahwa komunitas Muslim itu dari berbagai ras dan suku bangsa tapi setiap orang diterima dengan sama baiknya.

Saat ini aku telah menjalankan salat lima waktu, membaca Al Quran, pergi ke masjid dan diterima oleh banyak saudara sesama muslim. Ternyata banyak juga di antara mereka yang berkulit putih sebagaimana diriku dan usianya pun sebaya.

Aku pun telah konsisten mamakai hijab atau kerudung kapan pun aku keluar rumah. Aku juga tidak lagi makan babi. Dalam hal ini kukatakan pada teman-temanku bahwa aku rasa cintaku makan daging babi telah digantikan oleh rasa cinta pada agama baruku ini. Alhamdulillah. (riafariana/dbs/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version