Oleh: Emma Lucya Fitrianty, S.Si*
Dunia digital tak bisa dilepaskan dari kehidupan anak-anak kita. Anak-anak yang melek teknologi dan sudah mengenal gadget ini sangat rawan terpapar pornografi. Konten-konten vulgar yang berlalu-lalang di dunia maya sangat berbahaya, apalagi jika terus-menerus dikonsumsi oleh anak-anak kita. Pornografi menjadi ‘kanker ganas’ yang bisa merusak pemikiran sekaligus perilaku anak.
Fakta yang terjadi, pada 30 September 2016, sebuah video porno secara insidental ditayangkan di sebuah papan reklame berukuran besar di kawasan Jakarta Selatan. Hal ini tentu berbahaya jika ditonton oleh anak-anak di bawah umur. Sebuah penelitian di Inggris mengatakan, pornografi dan penggambaran seksualitas memengaruhi ribuan anak-anak untuk melakukan kejahatan seksual. Sebanyak 4.562 anak di bawah umur (98 persen laki-laki) melakukan 5.028 pelanggaran seksual dari 2009 hingga 2012 (m.okezone.com, 1/10/2016). Masih banyak kasus pelanggaran seksual yang melibatkan anak di Indonesia akibat terpapar pornografi.
Bak fenomena gunung es, kasus pelecehan yang tidak terekspos di media bisa jadi lebih banyak lagi. Sungguh, ini adalah fakta yang sangat memalukan dan memprihatinkan, khususnya bagi kita para orang tua. Dari fakta-fakta di atas, kita juga bisa melihat bahwa efek pornografi itu tidak hanya menjadikan anak sebagai objek (korban) pelecehan seksual tapi juga sebagai subjek (pelaku).
Anak sebagai Aset Masa Depan Anak adalah generasi penerus masa depan, aset sumber daya manusia yang sangat berharga dan menentukan jatuh bangunnya sebuah bangsa. Anak dilahirkan dalam kondisi fitrah yang memiliki berbagai potensi dan kecerdasan yang luar biasa. Mereka bisa mempelajari dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Jadi apapun yang dia lihat, dengar dan rasakan akan sangat berpengaruh pada perkembangannya.
Maraknya berbagai tayangan porno di era digital saat ini mewajibkan kita –sebagai orangtua- untuk berupaya semaksimal mungkin membekali anak-anak kita dengan pondasi keimanan yang kokoh, mencarikan lingkungan yang betul-betul baik untuk mendukung pembentukan kepribadian mereka yang mulia. Pendidikan Seks, Pendidikan tentang Keimanan dan Kepribadian Munculnya pornografi dan pornoaksi merupakan konsekuensi logis akibat memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk bertingkah laku sebebas-bebasnya karena batasannya : asalkan tidak merugikan orang lain. Maka yang namanya zina, kumpul kebo, free sex ataupun ganti-ganti pasangan baik berlainan jenis maupun yang sejenis dianggap sebagai hal yang lumrah.
...Konten-konten vulgar yang berlalu-lalang di dunia maya sangat berbahaya, apalagi jika terus-menerus dikonsumsi oleh anak-anak kita. Pornografi menjadi ‘kanker ganas’ yang bisa merusak pemikiran sekaligus perilaku anak...
Propaganda yang mendorong kebebasan seks ini sejatinya berpedoman kepada teori milik Sigmeun Freud. Ia menyatakan bahwa manusia menjalankan aktivitas dengan motivasi ‘libido’. Juga dinyatakan bahwa naluri seks yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan kematian. Sungguh, sebuah tesis yang sangat keliru! Sejatinya, naluri seks yang tidak terpenuhi hanyalah akan menyebabkan kegelisahan, karena rangsangan naluri ini dari luar tubuh. Oleh karena itu, bangkitnya naluri seks dapat dikendalikan sepenuhnya, ditunda, dialihkan pada aktivitas lain yang menyibukkan atau dipenuhi sesuai aturan yang benar. Bukan dibiarkan liar begitu saja.
Berbeda halnya dengan kebutuhan jasmani seperti makan atau minum, kebutuhan jasmani ini harus dipenuhi karena rangsangannya dari dalam tubuh dan jika tidak dipenuhi maka akan menyebabkan kematian. Adapun pendidikan seks merupakan bagian integral dari pendidikan keimanan dan kepribadian, dan pendidikan tentang hakikat manusia (hubungan manusia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu (baca: sekular) akan menyebabkan ketidakjelasan arah dari pendidikan seks itu sendiri, bahkan mungkin akan menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan asal manusia melakukan kegiatan seksual dalam rangka pengabdian kepada Sang Pencipta. Adapun beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam memberikan pendidikan seks bagi anak-anak kita:
1. Seksualitas adalah anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala agar manusia dapat mengemban misi hidupnya tanpa mengalami kepunahan.
2. Seks hanya dipenuhi dengan jalan pernikahan yang sah.
3. Sejak dini anak dihindarkan dari tayangan atau informasi yang berbau pornografi dan pornoaksi.
4. Membiasakan izin masuk kamar orang tua sejak usia dini.
5. Memberikan informasi yang tepat sesuai perkembangan anak (termasuk sesuai usia anak) tentang proses reproduksi dan kesehatan reproduksi.
6. Menanamkan unsur keimanan kepada anak dalam setiap jawaban yang kita berikan untuk pertanyaan mereka.
Selain itu semua, masyarakat harus berperan mendidik anak-anak dengan tidak merusak hasil pendidikan dalam rumah. Masyarakat harus peduli terhadap penjagaan dan pengawasan akhlak anak-anak dan remaja di sekitarnya agar tidak menyimpang. Dan yang paling penting, negara harus bisa menyetop akses pornografi, baik di dunia nyata maupun di dunia nyata.
Negara harus mampu menjamin regulasi komprehensif agar sistem sosial berjalan sebagai bentuk perlindungan terhadap kesehatan reproduksi remaja, bukan sebaliknya melindungi segelintir pelaku maksiat yang mendulang keuntungan dengan melindungi kelompok-kelompok yang menyuarakan kebebasan seksual seperti LGBT atau perilaku menyimpang lainnya. (riafariana/voa-islam.com)
*) pemerhati masalah Perempuan, Keluarga dan Generasi (PKG)
Ilustrasi: Google