Bismillah. Proses masuk Islam bagiku bukan hal yang mudah. Ada jalan panjang yang itu harus aku lalui. Semuanya bermula ketika UU kontra terorisme mulai diperkenalkan sejak kejadian 11 September 2001. Saat itu aku masih duduk di bangku kuliah. Benakku penuh berisi hal negatif tentang Islam dan kaum muslimin.
“Kenapa sih ini orang-orang Islam ingin sekali mengebom kami?” begitu selalu yang terbersit di benak.
Gambaran tentang perempuan muslim yang terjajah, sungguh kasihan sekali. Kain yang menutup kepalanya itu semakin menguatkan tuduhanku bahwa itu adalah simbol penghinaan. Aneh kan? Aku belum pernah bertemu dengan satu muslim pun seumur hidup, tapi aku sok tahu tentang mereka dan kehidupannya.
Aku pun berusaha mengunjungi Masjid Auburn Gallipoli. Saat itulah seluruh prasangka buruk kubuang jauh-jauh. Ternyata Islam itu memunyai akar dan beberapa kesamaan dengan agama Kristen, keyakinan yang aku tahu sejak kecil. Nabi-nabi kami pun sama. Ada Ibrahim, Adam, Musa, Nuh, Jesus/Isa, dll.
Setiap Sabtu aku sempatkan pergi ke Masjid lengkap dengan hijab menutup kepalaku. Ini semua kulakukan karena aku menghormati keyakinan mereka dan demi menemukan ‘kebenaran’. Kebenaran di sini adalah aku akan membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar mengajarkan membunuh orang tak bersalah dan perempuan memang diperlakukan selayaknya budak saja. Ya...niatanku mempelajari Islam ke Masjid awalnya seburuk itu.
...Masuk Islam bukanlah satu ‘prestasi’ yang membuat banyak orang memberimu ucapan selamat untuk itu. Sekali aku membuat keputusan, aku sadar akan konsekuensi yang akan kuterima...
Faktanya, aku menemukan hal yang bertolak belakang dengan yang sebelumnya kuyakini dan apa yang sering diberitakan oleh media. Bukannya menemukan yang ‘kucari’, aku malah menemukan ayat yang kemudian menjadi favorit: Barangsiapa membunuh satu orang maka dia seperti membunuh kemanusiaan seluruhnya. Dan siapa saja yang memelihara satu kehidupan, itu sama seperti dia memelihara seluruh kemanusiaan.
Butuh waktu yang lama bagiku untuk mengakui bahwa aku menerima Islam dan menjadi Muslim. Aku tahu resikonya bila aku sampai pindah ke agama Islam. Itu artinya seluruh kehidupanmu akan berubah secara total. Bagaimana kedua orang tuaku akan bereaksi? Teman-temanku, bagaimana?
Ini adalah langkah besar dan sangat asing untuk kulakukan dengan segala resikonya. Masuk Islam bukanlah satu ‘prestasi’ yang membuat banyak orang memberimu ucapan selamat untuk itu. Sekali aku membuat keputusan, aku sadar akan konsekuensi yang akan kuterima. Sekali aku masuk Islam, aku harus siap dengan segala resiko yang menyertainya. Aku khawatir jika aku berbuat salah, orang bukan melihat aku sebagai manusia yang bisa berbuat salah. Tapi orang akan mengaitkan dengan agamaku dan menganggapnya sebagai bagian dari Islam.
Dalam hal berhijab, aku menganggapnya sebagai bagian dari perintah Allah yang tertulis di dalam Al Quran. Aku tidak merasa dipaksa untuk memakainya. Sebaliknya, aku memakainya dengan sadar. Dengan berhijab, orang akan tahu dengan mudah bahwa aku adalah seorang muslimah. Tak jarang, aku dihina dan dibully oleh orang-orang yang kutemui. Itu semua tak menyurutkan niat dan semangatku untuk terus mempertahankan hijab ini.
Aku merasa percaya diri dengan pakaian yang kupakai. Aku merasa mantap dengan keyakinan yang saat ini kuyakini kebenarannya. Satu hal yang bisa diambil hikmahnya adalah, bila ingin mengetahui sesuatu janganlah kita sekadar membicarakannya. Akan jauh lebih baik bila kita bertanya kepadanya. Ketika kesalahpahaman tentang Islam kita dapatkan, janganlah membicarakannya tapi bertanyalah kepada muslim yang paham tentang agamanya tersebut. Wallahu alam. (riafariana/news/voa-islam.com)