View Full Version
Ahad, 18 Aug 2019

Saatnya Perempuan Merdeka dari Sandera Sistem Kapitalisme

Oleh:

Yulida Hasanah

Muballighot tinggal di Jember

 

SUNGGUH menyayat hati siapa saja yang melihatnya. Kisah tragis datang dari sebuah kontrakan di Perumahan Kaliwining Asri Blok C6, Dusun Bedadung Kulon, Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jawa Timur (14/8/2019).

Seorang gadis kecil, bahkan masih sangat kecil. Di usia 14 bulan, bayi perempuan berinisial N harus menghadapi kenyataan pahit seorang diri. Bagaimana tidak? Ayah (Fauzi, 40 tahun) yang selama ini mengasuhnya seorang diri, terbujur kaku dalam pelukan sang bayi selama 3 hari, sebelum akhirnya dievakuasi oleh warga dan polisi. Dan yang lebih tragis lagi, selama 3 hari itu pula, sang bayi tak mendapatkan asupan makanan, apalagi mandi. Sedangkan Ibu dari bayi N ini, sedang mengadu nasib ke negeri orang menjadi Tenaga Kerja Wanita.

Bisa kita bayangkan, berapa banyak para swami yang ditinggal pergi karena sang istri menjadi TKW ke luar negeri. Dan berapa banyak anak yang ditinggal pergi oleh para ibu, dengan alasan ekonomi keluarga butuh dibantu. Sangat miris sekali! Ketika bumi pertiwi yang sedang memeringati hari kemerdekaannya. Ketika pemerintah mengabarkan bahwa kesejahteraan rakyat makin meningkat. Dan ketika dengan bangga, negeri ini menyibukkan diri memerangi radikalisasi. Ketika itu juga, para swami menjerit dalam hati “kapankah mereka mampu membahagiakan anak istri?”

Kekuatan peran ayah bahkan mulai melemah dalam mencari nafkah. Bukan karena tak mau bekerja, bukan juga karena faktor menyengaja. Namun, kondisi kehidupan mereka saat ini berbicara, bahwa para perempuan/para ibu lebih mumpuni terjun dalam dunia ekonomi.

 

Kapitalisme Menyandera Fitrah Kaum Ibu

Ketika ide kesetaraan gender dalam ekonomi yang lahir dari Ideologi kapitalisme ini terus digenggam kuat. Maka, gambaran ideal peran Ibu  dalam rumah tangga semakin akan semakin langka. Alih-alih memberikan pelayanan terbaik bagi swami, anak-anak mereka saja sudah tak sempat menemani masa-masa golden age-nya. Itu yang bekerja menjadi buruh pabrik. Apalagi yang bekerja hingga ke luar kota atau luar negara?. Ya, kita tak bisa membayangkan, bagaimana fitrah kaum ibu tersandera atas nama ekonomi.

Kapitalisme, sebuah ideologi yang melahirkan ide pemberdayaan ekonomi perempuan, malah dengan bangga didengung-dengungkan oleh kaum feminis. Ide ini telah menyihir wanita-wanita Indonesia untuk terjun langsung di sektor ekonomi. Harapan mampu memberi solusi dari persoalan keluarga termasuk masalah perekonomian negara, malah berbuah kenyataan pilu.

Namun, itu tak memengaruhi para ibu untuk tetap menjadi penjaga ekonomi keluarga. Terlebih setelah Menteri Ekonomi Indonesia mengatakan bahwa pengangguran tertinggi disandang oleh kaum perempuan. Kelicikan inilah yang akhirnya menyebabkan angka partisipasi perempuan dalam dunia kerja pun menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya.

Berdasarkan data badan pusat statistik per tahun 2018  saja, menunjukkan angka partisipasi perempuan di dunia kerja kurang lebih sebesar 51,88% dari total angkatan kerja. Jumlah ini meningkat 0,99 % dari tahun sebelumnya. Sementara itu untuk pekerja migran dari kalangan perempuan pun jumlah yang tercatat secara prosedural lebih banyak dibanding laki-laki (21 % laki-laki dan 30 % perempuan) dari total keseluruhan buruh migran.

Besarnya risiko yang harus dihadapi buruh perempuan tak jua menjadikan negara serius menyelesaikan masalah yang terus berulang. Bukannya mengupayakan pembukaan lapangan kerja bagi kaum laki-laki, negara justru mendorong agar kaum perempuan bekerja. Dengan alasan kesetaraan gender dalam ekonomi, menjadikan bekerja bagi perempuan juga wajib hukumnya. Tak lagi melihat efek domino yang memengaruhi ketahanan dalam keluarga.

 

Dengan Islam, Perempuan Merdeka dan Kembali pada Fitrahnya

Cukuplah keluarga N yang ada di Jember, Jawa Timur, sebagai pelajaran bagi kita dan bagi Ibu N yang akhirnya pulang dari Taiwan untuk menemui putri semata wayangnya. Dan kita tak menginginkan kondisi yang sama, terjadi pada keluarga kita dan keluarga di Indonesia.

Terlebih, setelah Islam hadir memberikan jalan keluar bagi manusia-manusia yang bertaqwa. Ajaran Islam bukanlah ajaran yang akan menyengsarakan hidup manusia. Menerapan seluruh aturannya, justru menjadi jalan bagi semua masalah yang ada. Termasuk masalah ekonomi yang mengorbankan fitrah perempuan sebagai manusia.

Syari’at mulia yang Allah SWT turunkan kepada Rasulullah Saw ini, tak sekedar mengatur masalah ibadah ritual semata. Masalah ekonomipun telah ada solusi tuntasnya.

Islam telah meletakkan kewajiban nafkah kepada kaum laki-laki saja. Oleh karenanya, ketika syari’at islam diterapkan dalam sebuah negara. Maka, Khalifah sebagai kepala negara akan menjamin lapangan kerja bagi kaum laki-laki seluas-luasnya. Dan menerapkan mekanisme yang jelas apabila masih ada kemiskinan yang menimpa rakyatnya, hingga dipastikan tiap-tiap kepala keluarga mampu memenuhi nafkah wajibnya.

Selain itu, bagi kaum perempuan. Islam hadir dan ada sebagai sebuah agama dan syari’at yang penuh rahmat. Dalam Islam, perempuan menempati kedudukan mulia yakni sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Itulah posisi terbaik bagi wanita, karena Allah Pencipta segenap makhluk sangat mengetahui apa yang terbaik bagi mereka.

Karena kewajiban utamanya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga, maka Islam memberi hak bagi perempuan untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Mereka tinggal di dalam rumah, tetapi mendapat pemenuhan kebutuhan hidupnya secara makruf (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 223).

Selain itu, Islam sangat memperhatikan peran dan tugas ibu karena ibulah kunci lahirnya generasi tangguh yang akan melanjutkan peradaban yang lebih baik. Menjadi ibu berkualitas haruslah memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan ruhiyah yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah yang wajib menjalankan seluruh peran keibuan dalam rumah tangga dan meyakini semua itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt. Wallaahua’lam.*


latestnews

View Full Version